Perjalanan RASA
Ini adalah sebuah rangkaian cerita perjalanan menikmati seribu rasa, jika anda ingin ikut serta menikmatinya, silahkan. kami hanya berbagi... :D
Sabtu, 09 November 2013
Kamis, 10 Oktober 2013
Engkaukah malaikat itu?
Chapter 1 (part 6)
Hujan mengisi relung imajinasiku.
Membawaku hanyut dalam deru tetes air tak berkesudahan. Teringat masa
kanak-kanakku. Menggunakan daun pisang sebagai payung dan berlari-larian
bersama teman-teman sepulang sekolah. Menuju sungai di belakang sekolah. Melihat
orang memancing dan menjala ikan. Aku suka hujan, aku juga suka melihat sungai
yang beriak-riak.
Setelah
itu ibu akan mencariku dan mengajakku pulang. Dengan mata yang berkilat gusar,
ibu akan memarahiku. Untuk apa hujan-hujan deras seperti itu malah berkeliaran
di sungai, pikir ibu tidak mengerti. Tapi setelah itu ibu akan menyelimutiku
dan membuatkan susu hangat. Aku senang. Tak ada lagi kemarahan dimatanya.
Meskipun masih ada kecemasan tergambar di wajah ibu, tapi matanya selalu
bercahaya dan bersinar-sinar. Seperti sinar bulan dimalam hari. Begitu sendu
namun menghangatkan.
***
Hujan mengguyur sejak subuh tadi.
Aku masih malas-malasan dikasur dan memilih untuk melanjutkan mimpi yang
terpotong tadi. Dalam hati bertekad untuk tidak melakukan apapun seharian ini.
Tapi
mataku tak dapat terpejam kembali. Ada
bayangan Yudi tiba-tiba datang mengganggu. Bagai tamu tak diundang. Bayangan
itu mendominasi otakku. Teringat tentang kejadian kemarin. Saat dia memegang
dan menarik tanganku. Rasanya seakan dunia disekitarku berhenti, digantikan
oleh suara merdu sebuah lagu sendu.
Melihat
ke dalam matanya, aku merasa ditelanjangi. Menelanjangi kepalsuanku. Seakan
semua topeng yang kukenakan sebagai benteng kekuatanku runtuh. Menjadikanku
serupa anak kecil polos yang hanya sanggup menunjukkan kejujuran. Aku tak
sanggup jika harus berlama-lama menikmati mata sendunya.
Rrrr
rrr sebuah pesan masuk ke smartphoneku. Dari Yudi.
Kakak lagi apa?
Menghela nafas sejenak. Anak ini tahu saja kalau aku lagi
mikirin dia.
Nggak ada.
Main yuk.
Hah? Yudi ngajakin aku jalan?
Nggak salah? Batinku penasaran.
Kemana?
Kemana aja
Terserah kakak deh
Malas
Kamu ajakin temenmu aja
Hadehhhh
Ayo to kaaak…
Plissss
Hujan dek disini
Adek kehujanan nanti
Kakak malas keluar
Kalau gitu adek ke
kosan kakak sekarang
Serius?
Iyaaa..
Oke.
Rasanya
kedekatan kami agak terlalu aneh. Bagaimanapun juga dia adalah bawahanku. Aku
tak pernah sedekat ini dengan seseorang yang pernah bekerja denganku. Apa yang
seharusnya kulakukan padanya. Tapi meskipun begitu aku tak pernah berhasil
menjauh atau bahkan menjaga jarak dengan Yudi. Kurasa aku sudah sinting.
“Ini
buat kakak,” kata Yudi sambil menyerahkan bungkusan plastik ke arahku.
“Apaan
nih?”
“Buka
aja. Kakak belum sarapan kan?”
“Hmm…kamu
bawain kakak sarapan. Adek baik banget sih,” kataku malu-malu. Tidak tahu harus
bersikap bagaimana. Rasa-rasanya sikapnya terlalu baik padaku. Atau dia memang
aslinya baik pada semua orang.
“Malah
ngelamun,” kata Yudi sambil melangkah ke arah jendela. Memperhatikan hujan
diluar. Rambut dan kemejanya sedikit basah terkena hujan.
“Mau
kopi? Atau coklat panas?”
“Coklat
aja,” jawabnya acuh. Kini dia duduk di depan jendela kamar kosku sambil membaca
novel Supernova favoritku.
“Adek
udah sarapan?” tanyaku sambil menyodorkan coklat panas ke arahnya. Dia tengah khusyuk
menikmati tetes hujan.
Apa
yang dia pikirkan, batinku penasaran. Rambut lurusnya rapi terpotong pendek.
Rahangnya keras membentuk wajah yang kaku. Kalau dilihat-lihat Yudi lumayan
manis juga. Tapi jarang tersenyum.
“Dek!”
“Iya.”
“Bisa
senyum nggak?”
“Hiiiiii…”
“Hahahahha
itu meringis bukan senyum.”
“Hehehehe…
masa sih kak.”
“Adek
lebih cakep kalau banyak senyum.”
“Hahahahhaha…”
Tawa Yudi riang.
Aku
melihat cahaya di matanya. Cahaya yang telah lama tidak terlihat. Tanpa
kusadari telah menghangatkan hatiku. Dan aku tidak ingin kehilangan rasa hangat
yang menyehatkan hatiku ini.
Bukankah
malaikat terbuat dari cahaya. Dan saat aku melihat cahaya dimatanya. Lalu dia
itu sebenarnya apa, dia kah malaikat yang akan memberiku sebuah jawaban?
Rabu, 02 Oktober 2013
Pandangan kosong kak Mira.
Chapter 1 (part 5)
Yudi. 16.35
Seketika aku melintas ruangan yg †ªķ asing bagiku.
Ruangan tempat aku dan kak mira merundingkan pekerjaan.
Kadang tempat kami ngopi berdua.
Tempat kami suka bercanda.
Tapi aku lihat dari jendela luar ruangan ini. Ada kak Mira yang menatap penuh arti keluar jendela, dirasakanya angin semilir sore †ªķ seindah kemarin.
Berkali kali kak Mira menatap penuh arti.
Raut wajahnya tidak sama dengan yang seperti kulihat kemarin.
Riang tertawa lepas.
Bagai daun yg tak punya tujuan, berkilau terseret angin ntah kemana arahnya..
Sekarang kulihat wajahnya yang murung, bagai mendung dan kilatan yang menyambar hati..
Bahkan tampak peluru dan meriam menghujani mukanya.
Pikiranya terbang melayang memutari semua isi seluruh otaknya.
"Aku rasa kak Mira ada masalah".
Aku coba tetap melihatnya dari sini.
Tapi kaki ini tak bisa diam membiarkan mata ini tetap menikmati kakak yang sedang gelisah tak karuan.
Kakiku melangkah untuk mencoba membangunkanya, dari lamunan yang terasa menyesakkan di dada.
Aku buka pelan pintu didepanku yang akan menghubungkan aku dengan kak Mira.
Kuangkat pelan tanganku dan ku tempelkan di bahunya..
" Kaaaaak"..
" Kakak gak papa".?
Dia kaget, tersentak membuat lamunanya hancur tak karuan..
" Yudi....."
Kok nggak ketuk pintu dulu, kalo mau masuk.
Jawabnya sinis..
"Maaf kak. Yudi gak tegaaaa lihat kakak dari luar, yang melamun dan memutar otaknya tidak ada arti".
Kak Mira menjawab Sapontan " Sok tau kamu".
"Aku tersenyum kecil dihadapanya".
Ku ulangi lagi pertanyaanku tadi.
"Kakak gak papa"..??
Pelan dia menjawab.
"Gak papa Yudi, kamu belum pulang"?.
Tidak percaya aku mendengar jawabanya yang datar tak beraturan itu..
" Yudi masih ada kerjaan dikit kak".
"Kakak ada masalah" tanyaku masih tidak percaya dengan semua jawaban nya.
"Gak papa Yudi" Wajahnya tersenyum palsu, menyembunyikan masalah - masalah yang tak ingin orang lain mengetahuinya.
"Udah jam lima kak..!! Kakak gak pulang istirahat"? Kataku sambil ikut melihat pemandangan di luar jendela. Banyak mobil lalu lalang macet terpenjara oleh suasana jalan raya ini..
"Bentar lagi Yud"
"Kalo kakak ada masalah bisa cerita sama Yudi"..
Yudi mau dengarkan kok..!!
Sejenak kak Mira menatapku,tersenyum tipis dan mata yang berbinar. Menandakan dia tidak mau melibatkan aku dalam masalahnya.
Dia memegang kedua pundak ku dengan kedua tangan nya.
"Kakak gak papa Sayaaang".
Kami memang sudah sangat akrab dalam beberapa minggu ini, kayak adek kakak yg Sangat mesra.
Seluruh kantor pun kayaknya sudah tau tentang kedekatan kami.
"Benar kakak Gak papa".
Aku coba memastikan sekali lagi, karena aku tak tega melihatnya.
"Iyaaa Sayaang, kakak baik-baik saja".
Pikirku dalam hati, sombong banget sih orang ini.
Sok kuat pula.
Dasar Robot, kaku , gak butuh bantuan orang lain, dan gak punya Capek.. orang apa sih ini..
Hahahahahahaha..
Dasar robot hancur, celetuk ku dalam hati.
Lama terdiam. Kami didalam ruang yang lumayan senpit 4x4 untuk ukuran seorang editor yang hebat dan handal seperti kak Mira.
Sampai akhirnya petang datang dengan lambatnya membuat suasana kota menjadi indah.
Kerlap kerlip lampu mobil seakan beterbangan seperti kunang melayang tak tau arah..
"Kakak mau kopi" aku membuka percakapan kami.
"Boleh" singkat padat dan berisi jawabnya...
Aku menuju kebelakang mengambil dua cangkir kopi yang ku racik sendiri.
"Ini kak".
"Makasih Yudi" knapa kamu perhatian sekali ma kakak"?..
"Biasa aja kaaak" jawabku sambil tersenyum kecil..
"Iya Yudi, kakak lagi ada masalah.
Tapi kakak gak bisa critain ini sama kamu".
"It's ok kak.."
Aku cukup disini aja menemani kakak.
Mungkin sedikit membantu kesepian kakak".
Sambil tersenyum aku memandangnya penuh harapan.
Spontan, Aku menggandeng tangannya penuh kebahagiaan.
"Kak ayo pulang"..
"Iyaaaaa" sambil tersenyum dia bangkit dari semua lamunan masalahnya yg mungkin tak karuan berputar di dalam otaknya.
Dan Kami pulang bersama,
menikmati indahnya malam dengan putaran-putaran roda, dan suara bising Scooterku..
Ditemani kerlipan lampu jalan yang tak kehabisan cahaya menyinari jalan yg ramai ini..
Yudi. 16.35
Seketika aku melintas ruangan yg †ªķ asing bagiku.
Ruangan tempat aku dan kak mira merundingkan pekerjaan.
Kadang tempat kami ngopi berdua.
Tempat kami suka bercanda.
Tapi aku lihat dari jendela luar ruangan ini. Ada kak Mira yang menatap penuh arti keluar jendela, dirasakanya angin semilir sore †ªķ seindah kemarin.
Berkali kali kak Mira menatap penuh arti.
Raut wajahnya tidak sama dengan yang seperti kulihat kemarin.
Riang tertawa lepas.
Bagai daun yg tak punya tujuan, berkilau terseret angin ntah kemana arahnya..
Sekarang kulihat wajahnya yang murung, bagai mendung dan kilatan yang menyambar hati..
Bahkan tampak peluru dan meriam menghujani mukanya.
Pikiranya terbang melayang memutari semua isi seluruh otaknya.
"Aku rasa kak Mira ada masalah".
Aku coba tetap melihatnya dari sini.
Tapi kaki ini tak bisa diam membiarkan mata ini tetap menikmati kakak yang sedang gelisah tak karuan.
Kakiku melangkah untuk mencoba membangunkanya, dari lamunan yang terasa menyesakkan di dada.
Aku buka pelan pintu didepanku yang akan menghubungkan aku dengan kak Mira.
Kuangkat pelan tanganku dan ku tempelkan di bahunya..
" Kaaaaak"..
" Kakak gak papa".?
Dia kaget, tersentak membuat lamunanya hancur tak karuan..
" Yudi....."
Kok nggak ketuk pintu dulu, kalo mau masuk.
Jawabnya sinis..
"Maaf kak. Yudi gak tegaaaa lihat kakak dari luar, yang melamun dan memutar otaknya tidak ada arti".
Kak Mira menjawab Sapontan " Sok tau kamu".
"Aku tersenyum kecil dihadapanya".
Ku ulangi lagi pertanyaanku tadi.
"Kakak gak papa"..??
Pelan dia menjawab.
"Gak papa Yudi, kamu belum pulang"?.
Tidak percaya aku mendengar jawabanya yang datar tak beraturan itu..
" Yudi masih ada kerjaan dikit kak".
"Kakak ada masalah" tanyaku masih tidak percaya dengan semua jawaban nya.
"Gak papa Yudi" Wajahnya tersenyum palsu, menyembunyikan masalah - masalah yang tak ingin orang lain mengetahuinya.
"Udah jam lima kak..!! Kakak gak pulang istirahat"? Kataku sambil ikut melihat pemandangan di luar jendela. Banyak mobil lalu lalang macet terpenjara oleh suasana jalan raya ini..
"Bentar lagi Yud"
"Kalo kakak ada masalah bisa cerita sama Yudi"..
Yudi mau dengarkan kok..!!
Sejenak kak Mira menatapku,tersenyum tipis dan mata yang berbinar. Menandakan dia tidak mau melibatkan aku dalam masalahnya.
Dia memegang kedua pundak ku dengan kedua tangan nya.
"Kakak gak papa Sayaaang".
Kami memang sudah sangat akrab dalam beberapa minggu ini, kayak adek kakak yg Sangat mesra.
Seluruh kantor pun kayaknya sudah tau tentang kedekatan kami.
"Benar kakak Gak papa".
Aku coba memastikan sekali lagi, karena aku tak tega melihatnya.
"Iyaaa Sayaang, kakak baik-baik saja".
Pikirku dalam hati, sombong banget sih orang ini.
Sok kuat pula.
Dasar Robot, kaku , gak butuh bantuan orang lain, dan gak punya Capek.. orang apa sih ini..
Hahahahahahaha..
Dasar robot hancur, celetuk ku dalam hati.
Lama terdiam. Kami didalam ruang yang lumayan senpit 4x4 untuk ukuran seorang editor yang hebat dan handal seperti kak Mira.
Sampai akhirnya petang datang dengan lambatnya membuat suasana kota menjadi indah.
Kerlap kerlip lampu mobil seakan beterbangan seperti kunang melayang tak tau arah..
"Kakak mau kopi" aku membuka percakapan kami.
"Boleh" singkat padat dan berisi jawabnya...
Aku menuju kebelakang mengambil dua cangkir kopi yang ku racik sendiri.
"Ini kak".
"Makasih Yudi" knapa kamu perhatian sekali ma kakak"?..
"Biasa aja kaaak" jawabku sambil tersenyum kecil..
"Iya Yudi, kakak lagi ada masalah.
Tapi kakak gak bisa critain ini sama kamu".
"It's ok kak.."
Aku cukup disini aja menemani kakak.
Mungkin sedikit membantu kesepian kakak".
Sambil tersenyum aku memandangnya penuh harapan.
Spontan, Aku menggandeng tangannya penuh kebahagiaan.
"Kak ayo pulang"..
"Iyaaaaa" sambil tersenyum dia bangkit dari semua lamunan masalahnya yg mungkin tak karuan berputar di dalam otaknya.
Dan Kami pulang bersama,
menikmati indahnya malam dengan putaran-putaran roda, dan suara bising Scooterku..
Ditemani kerlipan lampu jalan yang tak kehabisan cahaya menyinari jalan yg ramai ini..
Minggu, 29 September 2013
Apa kabar?
Chapter 1 (part 4)
Mira 16:00 WIB
Sekilas aku membaca artikel yang
ditulis Yudi. Anak itu pasti bercanda. Bagaimana bisa bagian personalia
menerimanya jadi karyawan di perusahaan ini. Aku pasti gila jika kali ini tidak
mengeluarkan peringatan padanya. Tapi bulan kemarin anak itu menulis artikel lumayan bagus. Apa sebenarnya
yang terjadi.
Bisakah
sebuah otak hari ini melakukan sesuatu yang bagus keesokan harinya berubah jadi
idiot. Jelas-jelas majalah kami adalah majalah olahraga kenapa dia malah
memberiku artikel cinta. Prosa cinta. Puisi cinta? Entah apa ini sebutannya.
Dan kenapa judulnya sangat menyedihkan seperti ini. Membaca tulisan ini seperti
mengunyah pil pahit tanpa tambahan penetral, rasanya memuakkan. Harusnya orang
bisa menangis membaca ini tapi sekarang aku merasa… hmm… kehilangan rasa.
Seperti makanan yang lupa diberi garam. Hampir hambar.
Aku
menengok jam mickey yang ada dimeja kerjaku. Sudah waktunya pulang.
Beberapa menit lagi ruang kerja diluar sana
pasti sepi. Aku harus segera memanggil Yudi.
“Yudi…
kakak mau bicara,” kataku di depan pintu kantor.
“Iyaa
kak,” jawab Yudi segera. Kelihatannya dia sedang sibuk. Ada beberapa lembar kertas ditangannya.
Wajahnya menunjukkan kebingungan.
Kurasa
nanti aku harus mengecek pekerjaan Yudi. Anak itu kadang bisa menjadi orang
yang tidak mudah ditebak.
“Iyaa
kak.. ada apa?”
“Silahkan
duduk,” jawabku dingin.
Terdiam
sejenak dan memandang lurus ke dalam matanya. Beberapa saat kemudian aku masih
belum ingin megatakan apa-apa. Rupanya dia jadi bingung dan salah tingkah.
“Kak?”
“Kali
ini apa yang kamu pikirin? Mau pindah ke lantai dua?”
“Lantai
dua?”
“Majalah
remaja. Kamu bisa menulis artikel cinta disana. Kakak bisa bikinin surat rekomendasi sekarang
juga. Kamu mau itu?”
“Bukan
itu—“
“Kakak
mikir kamu nggak mau disini lagi. Jadi…”
“Maaf
kak, bukan itu maksudku nulis itu,” jawabnya memelas.
Sontak
aku kehilangan kata-kata. Entah kenapa anak ini selalu membuatku berpikir
panjang untuk menghakiminya terlalu jauh. Kurasa aku harus memakai cara lain.
Sejak tadi aku melihatnya tampak lebih muram daripada biasanya. Dilihat dari umurnya
yang masih muda. Wajar kalau dia memiliki masalah cinta. Aku sekarang mengerti
apa makna yang terkandung dalam artikel tadi. Tapi tunggu dulu, apa urusanku
dengan masalah itu. Aku harus tetap fokus pada kelangsungan majalah ini. Tidak
boleh ada satu jiwa yang boleh merusaknya. Entah itu cinta atau patah hati.
“Kakak
simpan artikelnya. Kakak mau artikel olahraga. Kamu tahu itu, dan kakak pikir
ini cuma kesalah pahaman. Sekarang kakak mau tanya. Gimana kerjaanmu sama bang
Haris?”
“Baik
kak, bang Haris udah ngajarin cara ngerjainnya.”
“Oke.
Lalu kenapa wajahmu masih kelihatan bingung. Masih banyak kerjaannya?”
“Iya
kak. Yudi takut salah, jadi ngerjainnya pelan-pelan dulu sambil belajar.”
“Oke.
Kakak pikir nggak ada masalah. Silahkan lanjutin kerjaanmu.”
“Terima
kasih kak,” jawab Yudi dengan wajah merasa bersalah.
Anak
itu kelihatan aneh hari ini. Pasti ada yang salah dengan otaknya. Lagipula aku
masih nggak habis pikir kenapa personalia bisa memasukkan dia ke divisi
olahraga ini. Dia bisa saja dimasukkan ke majalah sastra dilantai empat, atau
majalah remaja di lantai dua.
Di
depanku pada layar monitor aku membaca curriculum vitae milik Yudi.
Nama : Yudi Widjaja
Umur : 22 tahun
Sekilas
aku membaca semua informasi yang ada disana. Anak ini lumayan sibuk rupanya.
Sering memenangkan beberapa kompetisi menulis cerpen dibeberapa majalah. Dan
dia juga memenangkan kompetisi membuat artikel di majalah ini. Jadi ini rupanya
yang membuat dia menjadi salah satu karyawan disini. Cukup menganggumkan.
Mungkin aku harus mengenal anak itu lebih dekat.
Berbakat.
Mungkin kemampuannya masih harus di asah.
Jadi
ingat waktu dulu pertama kali menulis artikel. Waktu itu aku masih anak magang.
Rasanya setiap hari kepala editor menghujaniku dengan makian. Tidak ada jeda
bagiku untuk bernafas. Tapi untuk semua makian itu aku harus mengucapkan terima
kasih. Itu yang membuatku berada di posisiku sekarang.
Walaupun
bukan sebagai kepala editor. Tapi aku cukup puas dengan posisi editor sekarang
ini. Rasanya seperti telah berlalu bertahun-tahun lalu. Padahal baru tujuh
tahun yang lalu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di perusahaan ini.
Aku
penasaran akan jadi apa Yudi nanti, kelihatannya dia anak yang baik. Lagipula
apa perduliku dengan dia.
Malam
terlalu cepat merangkak. Lagi-lagi aku kehabisan kopi. Pelan-pelan aku
meregangkan badan. Hari ini lumayan sibuk. Masih harus mempertahankan
kewarasanku, buru-buru aku mengambil cangkir di sebelahku dan berjalan keluar.
Melihat
masih ada Yudi di meja kerjanya. Urungkan niat untuk menyapanya. Demi
melihatnya tertawa bahagia sendiri. Dia berkonsentrasi memandang smartphone
ditangannya. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. Adakah dia telah
menyerahkan cintanya pada orang lain.
Dari
matanya terlihat bunga-bunga beterbagan. Bunga cantik berwarna merah muda,
biru, oranye, semua dalam warna pastel lembut. Kerut diwajahnya seakan melembut
seiring ketikan chat yang dia lakukan. Kurasa ada seorang gadis diluar sana sedang berbincang
hangat dengan Yudi.
Melanjutkan
perjalananku ke meja kopi. Aku tersenyum sendiri. Rasanya menyenangkan
mengetahui kebahagiaan orang lain, walaupun aku hanya bisa merasakannya sambil
lalu. Tapi lama-lama rasanya seperti sebuah tusukan. Sebuah tusukan kecil
serupa jarum beracun. Dan racunnya perlahan menyebar sampai ke tenggorokan dan
paru-paruku. Aku tak bisa bernafas.
Oh
Tuhan. Tidak perasaan itu lagi. Sudah cukup aku menangis. Tak perlu aku
mengingat saat-saat pahit itu sekarang ini. Tidak setelah beberapa bulan ini
akhirnya aku berhasil menjauh darinya.
Pelan-pelan
aku mengatur nafas. Menghilangkan racun yang kini telah sampai ke otak. Tarik
hembuskan … tarik lagi, hembuskan. Seperti melakukan senam pagi. Seperti
meminum obat sakit kepala. Aku tidak boleh lupa untuk meminumnya. Aku tidak
boleh lupa bagaimana cara mengendalikan diri. Orang lain tidak boleh tahu isi
hatiku yang menyedihkan ini, apalagi Yudi.
“Kak?”
Huft…
hembusan terakhir.
“Kakak
nggak apa-apa? Kakak pucat,” tanyanya dengan wajah khawatir.
“Nggak
apa-apa,” kataku akhirnya. Aku harus melukis senyuman yang sempurna di wajah.
Aku
berhasil membentuk senyuman samar-samar. Alhasil Yudi masih memandangku dengan
pandangan curiga.
“Gimana
kerjaanmu?”
Yudi
hanya mengangkat bahu. Wajahnya masih bersemangat. Aku jadi teringat ekspresi
Yudi tadi. Masihkah rasa cinta itu menghangat dihatinya. Kalau melihat sinar
dimatanya, kurasa semua orang bakal tahu dia sedang dimabuk kepayang.
Tanpa
sadar, ada senyuman terbentuk di bibirku.
“Ada yang lucu?” tanya
Yudi.
“Apa?”
“Kakak
senyum sendiri, ada yang lucu kayaknya.”
“Ohhh
sorry….nggak ada. Nggak sengaja inget sesuatu,” jawabku berkelit. Berusaha
menyembunyikan senyumanku lebih dalam. “Kamu apa kabar? Kelihatannya lagi
seneng.”
Yudi
jadi salah tingkah. Tersenyum penuh arti.
“Nggak
perlu dijawab. Semoga kamu bahagia sama cewekmu. Hehehe…”
“Apaan
sih kak,” jawab Yudi berusaha menyembunyikan senyum mabuk cintanya.
“Hahaha….jangan
bikin kakak ketawa tambah kenceng deh.”
Dan
sampailah kami pada obrolan menyenangkan seperti malam kemarin dan malam-malam
sebelumnya.
Aku
begitu menikmati ceritanya. Tentang gadis yang disukainya. Bagaimana rupa gadis
itu. Bagaimana rasa dihatinya, dan bagaimana cara dia mengorbankan segalanya.
Semuanya begitu memabukkan. Bagaimana aku tidak terhanyut, dia menceritakannya
dengan penuh cinta. Dan dia membagi limpahan bunga cintanya kepadaku. Kalau aku
tidak bisa menjadi salah satu bunganya, aku bisa menjadi lebah yang menghisap
sari bunganya.
Malam
itu kami pulang dengan hati berbunga-bunga. Kurasa aku berbahagia untuknya. Dan
dia berbahagia untuk gadis yang dicintainya. Kami sama-sama bahagia, dan kami
sama-sama tidur nyenyak. Mungkin malah Yudi bermimpi bertemu gadis pujaannya.
Dan aku memohon pada Tuhan, untuk menghilangkan mimpi buruk dari tidurku kali
ini.
Beberapa
hari berlalu. Kami masih berbincang sehangat seperti sebelumnya. Seperti orang
yang hanya ingin berbagi. Aku suka mendengarnya bercerita, penuh semangat masa
muda. Rasanya seperti kembali lebih muda. Kurasa aku tidak pernah absen
mendengarnya bercerita, seperti malam ini. Aku sengaja berjalan ke meja
kerjanya.
Disana
aku menemukannya, seluruh keceriaannya seperti terhisap vacuum cleaner super
jahat. Digantikan oleh awan hitam. Seperti hujan menghantui tiap langkahnya.
Segera di sekelilingnya berubah menjadi sewarna abu-abu. Seperti foto hitam
putih. Yudi telah kehilangan sinar keemasan dimatanya.
Aku
terkejut.
Lagi-lagi
aku melihatnya memandang smartphonenya penuh arti. Gadis itu siapa namanya.
Yudi pernah bercerita padaku. Shinta.
Mungkinkah
Shinta yang membuat Yudi menahan badai di hatinya. Melihat Yudi seperti melihat
diriku sendiri. Aku pernah merasakan yang dia rasakan sekarang. Aku tahu, hanya
perlu melihatnya sekali. Tak perlu dua kali. Aku tahu yang dia butuhkan. Dia
butuh teman bicara.
Kurasa
dua cangkir kopi akan menemani kami malam ini.
“Hai…”
sapaku di dekat mejanya sambil menyodorkan secangkir kopi ke arahnya.
“Hai
kak,” jawabnya sumringah. Namun tetap mendung itu menggelayut sempurna di
wajahnya.
“Minum
dulu kopinya,” kataku penuh arti. Aku tersenyum dan sejenak menarik kursi di
dekatnya.
Kami
terdiam cukup lama. Bukan jenis diam yang membuat canggung. Kami menikmati
kesunyian itu. Menikmati tiap tegukan kopi kami. Tak perlu terburu-buru. Tak
perlu menceritakan atau berbincang apapun. Hanya butuh untuk ada. Menemani. Tak
perlu ikut campur kalau memang hanya itu yang dibutuhkan.
“Apa
kabar?” tanyaku akhirnya.
Awalnya
dia terkejut. Tidak yakin harus menjawab apa. Tapi kurasa dia memilih untuk
tegar.
“Lumayan,”
jawabnya singkat.
Walaupun
aku tidak puas dengan jawabannya tapi aku senang dia tersenyum. Dan mendung itu
perlahan menghilang. Walaupun belum seluruhnya. Mungkin kami bisa
menghilangkannya pelan-pelan.
Jumat, 27 September 2013
Kisahku yang meloow
Chapter 1 (part 3)
Yudi. 22.10
Huhhh..
Akhirnya Sampai juga aku di Rumah.
Aku parkir Scooterku di teras depan rumah.
Ku hempaskan badanku di kamar kecilku.
Terasa lumayan capek hari ini, pekerjaan yg menumpuk blum juga kelar.
Artikelku yg amburadul.
Sial.. otak ku hari ini lumayan bleeeenk.
Ntah kemana arah tujuan nya..
Melayang tinggi lalu jatuh di hempas angiiin..
Aku coba pejamkan mata..
Tiba-tiba teringat tadi, aku bercakap sama kak Mira..
Apapun yg kita omongin jadi nyambung dan menarik.
Kayak nya aku mulai tertarik dengan nya...
Dengan wanita yg gila bekerja, punya pandangan datar, gak suka bergaul..
Kelihatan sombong...
Hahahahahahahahaah...
Mungkin itu pendapat bagi orang yang tidak mengenalnya dekat.
Tapi hatiku berpikiran lain.
Dia menyenangkan, pandai, dan lembut.
Hissst...
Knapa aku jadi kepikiran dia terus..
Ku tengok jam dindingku sudah menunjuk angka 23.30
Aku sadar teringat pekerjaanku yang belum kelar..
Besok mau di minta bu boosss yg gila bekerja itu..
Hahahahahahahaha.
Sambil tersenyum kecil aku beranjak ke kamar mandi, ku guyur kepalaku dengan air.
Segaaaaaaaar...
Otak ku terasa frees lagi.
Aku nyalakan kompor gas ku, dan segelas air akan ku rebus untuk membuat teman faforitku yaitu, si Kopi hitam...
Aku bawa ke kamar dan mulai ku buka laptopku..
Dan berfikir mau nulis apa..??
Tiba tiba terlintas sebuah bayangan wajah nan manis tersenyum padaku.
Siaaalll.
Lagi-lagi Shinta tersenyum lebar di pikiranku.
Wanita yg aku Cintai selama ini.
Tapi dia tidak mau tau menau tentang perasaanku ini.
Aku menghembuskan nafasku pelaaaan...
Huuuuuh..!!
Knapa aku tidak menulis kisah nyataku dengan Shinta.
Yaaaah, walaupun aku agak keluar dari majalah olah raga kami.
Tapi kan di kantor banyak menerbitkan majalah anak muda.
Mana tau pembaca suka..!!
Tentang Cinta yang selama ini aku kejar, tapi tak kunjung datang.
Hahahahahahahaha...
Semoga kak Mira juga Suka..
Dan ku mulai menulis sedikit kisahku yang sederhana ini...
Dengan di temani segelas Kopi dan berbatang-batang rokok ku.
Aku mulai menulis..
Yang ku beri judul : Dia dan cuma Dia.
DIA DAN CUMA DIA.
Dia yang selalu buat jantungku berdetak kencang saat aku bersamanya..
Dia yang bisa membuat aku tersenyum lebar.
Dan dia lah yg membuat aku jatuh cinta.
Tapi entah mengapa, aku sangat takut mencintainya.
Aku selalu merasa tak pantas di dekatnya.
Dia terlalu lebih, lebih dan sangat lebih bagiku..
Sedang aku apa?
Mana mampu aku membuatnya bahagia..
Mana sanggup aku membuatnya bangga mempunyai aku.
Mengurus diriku sendiri saja aku belum mampu..
Tapi apa aku harus menyerah dan berputus asa begitu saja...
Apa aku bisa melihatnya bahagia dengan orang lain..
Entah lah.
Q tak mampu menjawab semua pertanyaan hati kecilku..
Sedang dia belum tentu mempunyai perasaan yang sama sepertiku..
Aku juga tak tau. Dia menganggapku apa..?
Apakah teman, sahabat, orang yang spesial di hatinya. Atau mungkin aku Sampah yg tak pernah di anggap nya ada..
Aku sangat takut mencintai nya.
Dimataku dia sangat perfeck, sunguh sempurna.
Senyumnya yang bisa membuat hatiku tentram.
Matanya yang selalu menatap ke hadapan Ka'bah.
Mulutnya yang selalu di jaga dengan perkataan yg Tulus dan sopan.
Raut wajahnya yang begitu cantik, apa lagi jika dia berhijab.
Sungguh membuat aku ingin memilikinya.
Wanita yang aku idam"kan ada di hadapanku..
Tapi apa daya, hati kecilku berkata lain.
APA PANTAS AKU UNTUKNYA TUHAN.
Tuhan tolong aku,
Jika memang dia untuk ku, izinkan aku membahagiakanya.
Jika memang dia bukan untuk ku.
Maka bahagiakan dia dengan orang lain yang lebih mencintainya. Ketimbang aku yang lemah ini...
Tapi aku akan selalu iklhas mencintai, walau tak pernah di cintai..
Aku akan selalu berusaha memberi.. walau aku tak pernah di beri...
Dia pernah bicara padaku, bahwa dia tidak bisa mencintaiku lebih dari sahabatnya...
Hancur,tersobek hatiku mendengarnya.
Tapi aku coba bertahan.bertahan. dan akan teruuuus bertahan..
Tuhan, akan ku serahkan semua padaMU..
Aku percaya tak ada yang tak
mungkin, jika ENGKAU kehendaki.
Engkau maha adil, maha bijaksana.
Aku akan serahkan semua padaMU.
aku mohon, buat dia selalu ada di jalanMU.
Bahagiakan dia, peluk dia saat dia kesepian.
Dan buatlah dia semakin kuat untuk menjalani semua cobaan hidup ini.
Terimakasih Tuhan.
Aku sangat mencintainya.
I CAN'T STOP LOVING YOU.
Haaaaaah..
Akhirnyaaa..
Selesai juga tulisan yang membosankan ini.
Semoga besok kak Mira suka.
Pikirku pendek..
Lelah juga mata ini, tak kusangka jam ternyata sudah 02.05 pagi.
Ku cari selimutku dan bruuuk..
Tertidur dengan pulas.
Keesokan pagi di kantor aku langsung menyerahkan tulisan ini ke kak Mira..
Tok.tok.tok..
Selamat pagi kak..
Sapaku sambil tersenyum.
Dia menyapa pagi Yudi..
Ada yang bisa kakak bantu..??
Iya kak.. jawabku.
Ini tulisanku yang baru.
Aku serahkan..
Lalu dia bertanya??
Loh. Emang kapan kamu kerjain, kok sudah selesai. Tanya dia sambil sinis tidak percaya.
Ku jawab enteng sambil tersenyum..
Semalam kak.
Heheehehe..
Gak tidur donk kamu..
Cetusnya lagi siniss.
Tidur kok, aku jawab sambil ngrenyitkan jidat..
Tapi ini bukan tentang olah raga kak, ini tentang perasaan anak muda yang melibatkan masalah Cinta..
Kak mira menjawab spontan " loh, kamu keluar dari sekenario mu selama ini"
Seolah tak percaya dia.
Lalu pelan dia bicara.
Aku liatnya dulu, mana tau bagus.
Sambil senyum kak mira menghadapku.
Ya udah kak.
Aku mau melanjutkan kerjaanku dulu.
Dia menjawab iyaaaaaa.
Lalu aku pergi dari ruanganya.
Dalam hatiku terus berpikir.
Kak Mira suka apa tidak.
Teruuuuus hawatirr..
Sambil aku melanjutkan kerjaanku yang menguras seluruh otakku ini...
Yudi. 22.10
Huhhh..
Akhirnya Sampai juga aku di Rumah.
Aku parkir Scooterku di teras depan rumah.
Ku hempaskan badanku di kamar kecilku.
Terasa lumayan capek hari ini, pekerjaan yg menumpuk blum juga kelar.
Artikelku yg amburadul.
Sial.. otak ku hari ini lumayan bleeeenk.
Ntah kemana arah tujuan nya..
Melayang tinggi lalu jatuh di hempas angiiin..
Aku coba pejamkan mata..
Tiba-tiba teringat tadi, aku bercakap sama kak Mira..
Apapun yg kita omongin jadi nyambung dan menarik.
Kayak nya aku mulai tertarik dengan nya...
Dengan wanita yg gila bekerja, punya pandangan datar, gak suka bergaul..
Kelihatan sombong...
Hahahahahahahahaah...
Mungkin itu pendapat bagi orang yang tidak mengenalnya dekat.
Tapi hatiku berpikiran lain.
Dia menyenangkan, pandai, dan lembut.
Hissst...
Knapa aku jadi kepikiran dia terus..
Ku tengok jam dindingku sudah menunjuk angka 23.30
Aku sadar teringat pekerjaanku yang belum kelar..
Besok mau di minta bu boosss yg gila bekerja itu..
Hahahahahahahaha.
Sambil tersenyum kecil aku beranjak ke kamar mandi, ku guyur kepalaku dengan air.
Segaaaaaaaar...
Otak ku terasa frees lagi.
Aku nyalakan kompor gas ku, dan segelas air akan ku rebus untuk membuat teman faforitku yaitu, si Kopi hitam...
Aku bawa ke kamar dan mulai ku buka laptopku..
Dan berfikir mau nulis apa..??
Tiba tiba terlintas sebuah bayangan wajah nan manis tersenyum padaku.
Siaaalll.
Lagi-lagi Shinta tersenyum lebar di pikiranku.
Wanita yg aku Cintai selama ini.
Tapi dia tidak mau tau menau tentang perasaanku ini.
Aku menghembuskan nafasku pelaaaan...
Huuuuuh..!!
Knapa aku tidak menulis kisah nyataku dengan Shinta.
Yaaaah, walaupun aku agak keluar dari majalah olah raga kami.
Tapi kan di kantor banyak menerbitkan majalah anak muda.
Mana tau pembaca suka..!!
Tentang Cinta yang selama ini aku kejar, tapi tak kunjung datang.
Hahahahahahahaha...
Semoga kak Mira juga Suka..
Dan ku mulai menulis sedikit kisahku yang sederhana ini...
Dengan di temani segelas Kopi dan berbatang-batang rokok ku.
Aku mulai menulis..
Yang ku beri judul : Dia dan cuma Dia.
DIA DAN CUMA DIA.
Dia yang selalu buat jantungku berdetak kencang saat aku bersamanya..
Dia yang bisa membuat aku tersenyum lebar.
Dan dia lah yg membuat aku jatuh cinta.
Tapi entah mengapa, aku sangat takut mencintainya.
Aku selalu merasa tak pantas di dekatnya.
Dia terlalu lebih, lebih dan sangat lebih bagiku..
Sedang aku apa?
Mana mampu aku membuatnya bahagia..
Mana sanggup aku membuatnya bangga mempunyai aku.
Mengurus diriku sendiri saja aku belum mampu..
Tapi apa aku harus menyerah dan berputus asa begitu saja...
Apa aku bisa melihatnya bahagia dengan orang lain..
Entah lah.
Q tak mampu menjawab semua pertanyaan hati kecilku..
Sedang dia belum tentu mempunyai perasaan yang sama sepertiku..
Aku juga tak tau. Dia menganggapku apa..?
Apakah teman, sahabat, orang yang spesial di hatinya. Atau mungkin aku Sampah yg tak pernah di anggap nya ada..
Aku sangat takut mencintai nya.
Dimataku dia sangat perfeck, sunguh sempurna.
Senyumnya yang bisa membuat hatiku tentram.
Matanya yang selalu menatap ke hadapan Ka'bah.
Mulutnya yang selalu di jaga dengan perkataan yg Tulus dan sopan.
Raut wajahnya yang begitu cantik, apa lagi jika dia berhijab.
Sungguh membuat aku ingin memilikinya.
Wanita yang aku idam"kan ada di hadapanku..
Tapi apa daya, hati kecilku berkata lain.
APA PANTAS AKU UNTUKNYA TUHAN.
Tuhan tolong aku,
Jika memang dia untuk ku, izinkan aku membahagiakanya.
Jika memang dia bukan untuk ku.
Maka bahagiakan dia dengan orang lain yang lebih mencintainya. Ketimbang aku yang lemah ini...
Tapi aku akan selalu iklhas mencintai, walau tak pernah di cintai..
Aku akan selalu berusaha memberi.. walau aku tak pernah di beri...
Dia pernah bicara padaku, bahwa dia tidak bisa mencintaiku lebih dari sahabatnya...
Hancur,tersobek hatiku mendengarnya.
Tapi aku coba bertahan.bertahan. dan akan teruuuus bertahan..
Tuhan, akan ku serahkan semua padaMU..
Aku percaya tak ada yang tak
mungkin, jika ENGKAU kehendaki.
Engkau maha adil, maha bijaksana.
Aku akan serahkan semua padaMU.
aku mohon, buat dia selalu ada di jalanMU.
Bahagiakan dia, peluk dia saat dia kesepian.
Dan buatlah dia semakin kuat untuk menjalani semua cobaan hidup ini.
Terimakasih Tuhan.
Aku sangat mencintainya.
I CAN'T STOP LOVING YOU.
Haaaaaah..
Akhirnyaaa..
Selesai juga tulisan yang membosankan ini.
Semoga besok kak Mira suka.
Pikirku pendek..
Lelah juga mata ini, tak kusangka jam ternyata sudah 02.05 pagi.
Ku cari selimutku dan bruuuk..
Tertidur dengan pulas.
Keesokan pagi di kantor aku langsung menyerahkan tulisan ini ke kak Mira..
Tok.tok.tok..
Selamat pagi kak..
Sapaku sambil tersenyum.
Dia menyapa pagi Yudi..
Ada yang bisa kakak bantu..??
Iya kak.. jawabku.
Ini tulisanku yang baru.
Aku serahkan..
Lalu dia bertanya??
Loh. Emang kapan kamu kerjain, kok sudah selesai. Tanya dia sambil sinis tidak percaya.
Ku jawab enteng sambil tersenyum..
Semalam kak.
Heheehehe..
Gak tidur donk kamu..
Cetusnya lagi siniss.
Tidur kok, aku jawab sambil ngrenyitkan jidat..
Tapi ini bukan tentang olah raga kak, ini tentang perasaan anak muda yang melibatkan masalah Cinta..
Kak mira menjawab spontan " loh, kamu keluar dari sekenario mu selama ini"
Seolah tak percaya dia.
Lalu pelan dia bicara.
Aku liatnya dulu, mana tau bagus.
Sambil senyum kak mira menghadapku.
Ya udah kak.
Aku mau melanjutkan kerjaanku dulu.
Dia menjawab iyaaaaaa.
Lalu aku pergi dari ruanganya.
Dalam hatiku terus berpikir.
Kak Mira suka apa tidak.
Teruuuuus hawatirr..
Sambil aku melanjutkan kerjaanku yang menguras seluruh otakku ini...
Rabu, 25 September 2013
Terima Kasih Untuk Hari Ini
Chapter 1 (part 2)
“Khayalan adalah sebuah bentuk
pelarian.”
“Apa?”
“Khayalan!!”
kata bosku Mira agak sedikit terlalu kasar dari yang dia maksudkan.
Aku hanya bisa memandangnya tak
mengerti.
“Waktu kau
menulis artikel ini. Apa yang kamu pikirkan? Artikel apaan ini? Siapa yang mau
membaca tulisan sampah ini. Salam.. bagi mereka yang terlupakan?”
“Tapi kak?”
“Nggak ada
tapi!! Kakak nggak suka. Ini sampah. Buat lagi. Ini nggak sesuai sama pembaca
kita.”
“Tapi ini jujur
kak, sesuai kenyataan,” kataku berusaha meyakinkan. Walaupun wajahku terlihat
datar. Tapi aku benar-benar berharap bosku menerima artikel itu.
“Terakhir kali
kamu bikin tulisan. Kaka suka. Sesuai pembaca kita. Kamu suka fakta rupanya.
Kenapa nggak gini aja. Kamu tulis tentang dua artis itu.”
“Artis?”
“Artis yang di
artikelmu itu. Cara fakta tentang mereka. Yang belum diketahui publik. Hmm…
mungkin hobi aneh mereka.”
“Hobi aneh?”
“Ya!! Siapa tahu
Ronaldo mengoleksi upil di lokernya. Atau Messi suka mengoleksi celana dalam
wanita. Itu lebih menarik.”
Ada jeda sejenak diantara kami. Aku jelas
mengerti apa yang dia katakan. Tapi kenapa ide seperti itu tak pernah terlintas
di otakku. Aku adalah anak baru di perusahaan majalah olah raga ini. Kak Mira
adalah seorang editor yang terkenal berhati dingin. Berkali-kali aku menulis
artikel, ini adalah artikelku yang paling buruk celaannya.
Di
perusahaan ini semua orang memanggilnya dengan namanya. Mira. Dia tidak suka
dipanggil Ibu atau Ibu Mira. Padahal dia atasan untuk beberapa orang anak buah.
Banyak yang bilang dia aneh. Tapi aku lebih suka memanggilnya kakak. Dan entah
kenapa dia tidak keberatan. Padahal aku hanyalah anak baru.
“Yudi?”
“Iya
kak?” jawabku kaget.
“Bisa?”
“Bisa
kak. Saya usahakan.”
“Lusa
udah harus jadi,” kata kak Mira dingin. Matanya memandang tanpa ampun dari
balik kacamata kotaknya. “Nggak usah nunjukin wajah melas gitu. Kakak nggak mau
tahu. Kamu harus serahin tulisan itu secepatnya,” katanya dengan wajah bosan.
Pandangan matanya seakan merendahkanku.
“Iya,”
kataku pasrah. Akhir dari pembicaraan kami. Dari mana aku harus mencari tema
tentang hobi aneh ini.
***
Mira. 17:00 WIB
Aku memandang keluar jendela.
Masih dengan pandangan yang sama, putus asa. Aku masih merasa belum akan
menemukan penyelesaian masalah itu hari ini. Akan ada seseorang yang membawa
jawabannya untukku. Akan ada saatnya, dan aku masih harus bersabar. Entah
meskipun aku sudah merasa bosan atau hampir mati tercekik karena kehabisan
nafas. Aku masih harus menunggu.
Tok
tok. Suara ketukan pintu.
“Masuk.”
“Mira..
ini artikel untuk bulan depan.”
“Oke,”
jawabku sambil tersenyum. “Harris, kamu lembur lagi?”
“Iya.”
“Pulang
aja sekarang. Temenin istrimu dirumah. Kehamilannya udah hampir waktunya kan?”
“Iyaa
Mir….kata dokter sih minggu-minggu ini.”
“Lalu
kenapa kamu masih disini. Istrimu membutuhkanmu.”
“Tapi
masih ada kerjaan yang belum selesai,” kata Harris tidak yakin.
“Biar
Yudi yang ngerjain.”
“Tapi
Mir—“
“Udah
sana pulang.”
Satu
jam kemudian aku telah menyelesaikan pekerjaanku. Tapi aku belum ingin pulang.
Dan hujanpun tiba-tiba mengguyur. Satu alasan lagi untuk mencegahku untuk
segera pulang. Semakin deras. Suara kerasnya merdu di telingaku. Kurasa aku
ingin menyeduh kopi.
“Hai
kak,” sapa Yudi di dekat meja kopi.
“Kamu
belum pulang?” tanyaku terkejut.
“Belum
nih kak,” jawabnya santai. “Kakak juga mau kopi?”
“Boleh.”
“Gula?”
“Pahit.
Terima kasih.”
Beberapa
jam kemudian. Sudah tidak ada alasan lagi bagiku untuk tetap berada di kantor.
Rupanya Yudi juga baru pulang. Terpaku aku di depan pintu keluar. Memandang
Yudi di kejauhan. Anak itu terlihat bersemangat, walaupun wajahnya selalu datar
cenderung muram. Hujan telah reda, namun masih tersisa rasa sejuknya. Yudi
menstarter skuternya.
“Kak…!”
sapa Yudi dari seberang parkir.
“Hai.”
“Kakak
juga mau pulang?”
“Iya.
Kamu hati-hati ya.”
“Siapp
bozz,” jawab Yudi ceria.
***
Keesokan harinya. Waktu berjalan
bagai terbang. Rasanya seperti belum mengerjakan apapun. Hari sudah beranjak
senja. Langit menggelap. Aku menjadi kalap. Belum siap untuk pulang. Mengelap
peluh dengan sapu tangan hitam.
Sebaiknya
aku mencari pekerjaan lain agar bayangan gelap itu segera menghilang. Atau
setidaknya menghilang dulu dari mataku.
Kopi.
Aku butuh bantuan kaffein untuk membuat otakku tetap terjaga. Seandainya
manusia tidak perlu tidur. Aku pasti akan memilih untuk tidak tidur. Tetap
terjaga dan melanjutkan hidup.
“Hai
kak….”
“Lagi-lagi
Yudi….” Kataku dengan keterkejutan yang sama seperti kemarin.
Isi
kantor sudah habis. Biasanya hanya tinggal aku. Yang memang semua orang tahu,
aku maniak kerja. Tapi sekarang sejak ada Yudi. Aku sering menemukannya di
dekat meja kopi. Menyeduh serbuk hitam pekat itu dengan air panas, wajah
konstan datar menghayati tiap adukan yang diayunkan oleh jemarinya.
Seakan
dia ingin mengusik monotonnya hidupku. Tak ingin aku sendirian. Tak ingin aku
hidup dalam waktu yang konstan. Dan dia mengobrak-abrik waktu sendiriku dengan
seduhan kopinya. Rasanya aku terhanyut.
“Ini
buat kakak,” katanya menyodorkan secangkir besar kopi mengepul. Aromanya sempurna.
Dan
tanpa sadar kami sudah berbincang hangat. Entah tentang apa. Aku telah lupa.
Yang penting kami menikmatinya. Dan secangkir kopi itu kembali menerbangkan
sang waktu. Kami harus beranjak pulang.
“Kak..
aku pulang dulu ya,” teriaknya di depan pintu kantorku.
“Iyaa..
kamu duluan aja. Kakak juga mau siap-siap pulang nih.”
“Terima
kasih untuk hari ini.”
Aku
terkesiap sempurna. Tidak yakin harus menjawab apa. Tapi senyumnya lagi-lagi
menghanyutkan. Aku memilih untuk tersenyum.
Langganan:
Postingan (Atom)