Kamis, 10 Oktober 2013

Engkaukah malaikat itu?


Chapter 1 (part 6)

Hujan mengisi relung imajinasiku. Membawaku hanyut dalam deru tetes air tak berkesudahan. Teringat masa kanak-kanakku. Menggunakan daun pisang sebagai payung dan berlari-larian bersama teman-teman sepulang sekolah. Menuju sungai di belakang sekolah. Melihat orang memancing dan menjala ikan. Aku suka hujan, aku juga suka melihat sungai yang beriak-riak.
            Setelah itu ibu akan mencariku dan mengajakku pulang. Dengan mata yang berkilat gusar, ibu akan memarahiku. Untuk apa hujan-hujan deras seperti itu malah berkeliaran di sungai, pikir ibu tidak mengerti. Tapi setelah itu ibu akan menyelimutiku dan membuatkan susu hangat. Aku senang. Tak ada lagi kemarahan dimatanya. Meskipun masih ada kecemasan tergambar di wajah ibu, tapi matanya selalu bercahaya dan bersinar-sinar. Seperti sinar bulan dimalam hari. Begitu sendu namun menghangatkan.
***

Hujan mengguyur sejak subuh tadi. Aku masih malas-malasan dikasur dan memilih untuk melanjutkan mimpi yang terpotong tadi. Dalam hati bertekad untuk tidak melakukan apapun seharian ini.
            Tapi mataku tak dapat terpejam kembali. Ada bayangan Yudi tiba-tiba datang mengganggu. Bagai tamu tak diundang. Bayangan itu mendominasi otakku. Teringat tentang kejadian kemarin. Saat dia memegang dan menarik tanganku. Rasanya seakan dunia disekitarku berhenti, digantikan oleh suara merdu sebuah lagu sendu.
            Melihat ke dalam matanya, aku merasa ditelanjangi. Menelanjangi kepalsuanku. Seakan semua topeng yang kukenakan sebagai benteng kekuatanku runtuh. Menjadikanku serupa anak kecil polos yang hanya sanggup menunjukkan kejujuran. Aku tak sanggup jika harus berlama-lama menikmati mata sendunya.
            Rrrr rrr sebuah pesan masuk ke smartphoneku. Dari Yudi.

Kakak lagi apa?

Menghela nafas sejenak. Anak ini tahu saja kalau aku lagi mikirin dia.

Nggak ada.
Main yuk.

Hah? Yudi ngajakin aku jalan? Nggak salah? Batinku penasaran.

Kemana?
Kemana aja
Terserah kakak deh
Malas
Kamu ajakin temenmu aja
Hadehhhh
Ayo to kaaak…
Plissss

Hujan dek disini
Adek kehujanan nanti
Kakak malas keluar

Kalau gitu adek ke kosan kakak sekarang

Serius?

Iyaaa..

Oke.

            Rasanya kedekatan kami agak terlalu aneh. Bagaimanapun juga dia adalah bawahanku. Aku tak pernah sedekat ini dengan seseorang yang pernah bekerja denganku. Apa yang seharusnya kulakukan padanya. Tapi meskipun begitu aku tak pernah berhasil menjauh atau bahkan menjaga jarak dengan Yudi. Kurasa aku sudah sinting.
            “Ini buat kakak,” kata Yudi sambil menyerahkan bungkusan plastik ke arahku.
            “Apaan nih?”
            “Buka aja. Kakak belum sarapan kan?”
            “Hmm…kamu bawain kakak sarapan. Adek baik banget sih,” kataku malu-malu. Tidak tahu harus bersikap bagaimana. Rasa-rasanya sikapnya terlalu baik padaku. Atau dia memang aslinya baik pada semua orang.
            “Malah ngelamun,” kata Yudi sambil melangkah ke arah jendela. Memperhatikan hujan diluar. Rambut dan kemejanya sedikit basah terkena hujan.
            “Mau kopi? Atau coklat panas?”
            “Coklat aja,” jawabnya acuh. Kini dia duduk di depan jendela kamar kosku sambil membaca novel Supernova favoritku.
            “Adek udah sarapan?” tanyaku sambil menyodorkan coklat panas ke arahnya. Dia tengah khusyuk menikmati tetes hujan.
            Apa yang dia pikirkan, batinku penasaran. Rambut lurusnya rapi terpotong pendek. Rahangnya keras membentuk wajah yang kaku. Kalau dilihat-lihat Yudi lumayan manis juga. Tapi jarang tersenyum.
            “Dek!”
            “Iya.”
            “Bisa senyum nggak?”
            “Hiiiiii…”
            “Hahahahha itu meringis bukan senyum.”
            “Hehehehe… masa sih kak.”
            “Adek lebih cakep kalau banyak senyum.”
            “Hahahahhaha…” Tawa Yudi riang.
            Aku melihat cahaya di matanya. Cahaya yang telah lama tidak terlihat. Tanpa kusadari telah menghangatkan hatiku. Dan aku tidak ingin kehilangan rasa hangat yang menyehatkan hatiku ini.
            Bukankah malaikat terbuat dari cahaya. Dan saat aku melihat cahaya dimatanya. Lalu dia itu sebenarnya apa, dia kah malaikat yang akan memberiku sebuah jawaban?

Rabu, 02 Oktober 2013

Pandangan kosong kak Mira.

Chapter 1 (part 5)


Yudi. 16.35


Seketika aku melintas ruangan yg †ªķ asing bagiku.
Ruangan tempat aku dan kak mira merundingkan pekerjaan.
Kadang tempat kami ngopi berdua.
Tempat kami suka bercanda.
Tapi aku lihat dari jendela luar ruangan ini. Ada kak Mira yang menatap penuh arti keluar jendela, dirasakanya angin semilir sore †ªķ seindah kemarin.
Berkali kali kak Mira menatap penuh arti.
Raut wajahnya tidak sama dengan yang seperti kulihat kemarin.
Riang tertawa lepas.
Bagai daun yg tak punya tujuan, berkilau terseret angin ntah kemana arahnya..
Sekarang kulihat wajahnya yang murung, bagai mendung dan kilatan yang menyambar hati..
Bahkan tampak peluru dan meriam menghujani mukanya.
Pikiranya terbang melayang memutari semua isi seluruh otaknya.
"Aku rasa kak Mira ada masalah".
Aku coba tetap melihatnya dari sini.
Tapi kaki ini tak bisa diam membiarkan mata ini tetap menikmati kakak yang sedang gelisah tak karuan.
Kakiku melangkah untuk mencoba membangunkanya, dari lamunan yang terasa menyesakkan di dada.
Aku buka pelan pintu didepanku yang akan menghubungkan aku dengan kak Mira.
Kuangkat pelan tanganku dan ku tempelkan di bahunya..
" Kaaaaak"..
" Kakak gak papa".?
Dia kaget, tersentak membuat lamunanya hancur tak karuan..
" Yudi....."
Kok nggak ketuk pintu dulu, kalo mau masuk.
Jawabnya sinis..
"Maaf kak. Yudi gak tegaaaa lihat kakak dari luar, yang melamun dan memutar otaknya tidak ada arti".
Kak Mira menjawab Sapontan " Sok tau kamu".
"Aku tersenyum kecil dihadapanya".
Ku ulangi lagi pertanyaanku tadi.
"Kakak gak papa"..??
Pelan dia menjawab.
"Gak papa Yudi, kamu belum pulang"?.
Tidak percaya aku mendengar jawabanya yang datar tak beraturan itu..
" Yudi masih ada kerjaan dikit kak".
"Kakak ada masalah"  tanyaku masih tidak percaya dengan semua jawaban nya.
"Gak papa Yudi" Wajahnya tersenyum palsu, menyembunyikan masalah - masalah yang tak ingin orang lain mengetahuinya.
"Udah jam lima kak..!! Kakak gak pulang istirahat"? Kataku sambil ikut melihat pemandangan di luar jendela. Banyak mobil lalu lalang macet terpenjara oleh suasana jalan raya ini..
"Bentar lagi Yud"
"Kalo kakak ada masalah bisa cerita sama Yudi"..
Yudi mau dengarkan kok..!!
Sejenak kak Mira menatapku,tersenyum tipis dan mata yang berbinar. Menandakan dia tidak mau melibatkan aku dalam masalahnya.
Dia memegang kedua pundak ku dengan kedua tangan nya.
"Kakak gak papa Sayaaang".
Kami memang sudah sangat akrab dalam beberapa minggu ini, kayak adek kakak yg Sangat mesra.
Seluruh kantor pun kayaknya sudah tau tentang kedekatan kami.
"Benar kakak Gak papa".
Aku coba memastikan sekali lagi, karena aku tak tega melihatnya.
"Iyaaa Sayaang, kakak baik-baik saja".

Pikirku dalam hati, sombong banget sih orang ini.
Sok kuat pula.
Dasar Robot, kaku , gak butuh bantuan orang lain, dan gak punya Capek.. orang  apa sih ini..
Hahahahahahaha..
Dasar robot hancur, celetuk ku dalam hati.
Lama terdiam. Kami didalam ruang yang lumayan senpit 4x4 untuk ukuran seorang editor yang hebat dan handal seperti kak Mira.
Sampai akhirnya petang datang dengan lambatnya membuat suasana kota menjadi indah.
Kerlap kerlip lampu mobil seakan beterbangan seperti kunang melayang tak tau arah..
"Kakak mau kopi" aku membuka percakapan kami.
"Boleh" singkat padat dan berisi jawabnya...
Aku menuju kebelakang mengambil dua cangkir kopi yang ku racik sendiri.
"Ini kak".
"Makasih Yudi" knapa kamu perhatian sekali ma kakak"?..
"Biasa aja kaaak" jawabku sambil tersenyum kecil..
"Iya Yudi, kakak lagi ada masalah.
Tapi kakak gak bisa critain ini sama kamu".
"It's ok kak.."
Aku cukup disini aja menemani kakak.
Mungkin sedikit membantu kesepian kakak".
Sambil tersenyum aku memandangnya penuh harapan.

Spontan, Aku menggandeng tangannya penuh kebahagiaan.
"Kak ayo pulang"..
"Iyaaaaa" sambil tersenyum dia bangkit dari semua lamunan masalahnya yg mungkin tak karuan berputar di dalam otaknya.
Dan Kami pulang bersama,
menikmati indahnya malam dengan putaran-putaran roda, dan suara bising Scooterku..
Ditemani kerlipan lampu jalan yang tak kehabisan cahaya menyinari jalan yg ramai ini..

Minggu, 29 September 2013

Apa kabar?

Chapter 1 (part 4)



Mira 16:00 WIB

Sekilas aku membaca artikel yang ditulis Yudi. Anak itu pasti bercanda. Bagaimana bisa bagian personalia menerimanya jadi karyawan di perusahaan ini. Aku pasti gila jika kali ini tidak mengeluarkan peringatan padanya. Tapi bulan kemarin anak itu  menulis artikel lumayan bagus. Apa sebenarnya yang terjadi.
            Bisakah sebuah otak hari ini melakukan sesuatu yang bagus keesokan harinya berubah jadi idiot. Jelas-jelas majalah kami adalah majalah olahraga kenapa dia malah memberiku artikel cinta. Prosa cinta. Puisi cinta? Entah apa ini sebutannya. Dan kenapa judulnya sangat menyedihkan seperti ini. Membaca tulisan ini seperti mengunyah pil pahit tanpa tambahan penetral, rasanya memuakkan. Harusnya orang bisa menangis membaca ini tapi sekarang aku merasa… hmm… kehilangan rasa. Seperti makanan yang lupa diberi garam. Hampir hambar.
            Aku menengok jam mickey yang ada dimeja kerjaku. Sudah waktunya pulang. Beberapa menit lagi ruang kerja diluar sana pasti sepi. Aku harus segera memanggil Yudi.
            “Yudi… kakak mau bicara,” kataku di depan pintu kantor.
      “Iyaa kak,” jawab Yudi segera. Kelihatannya dia sedang sibuk. Ada beberapa lembar kertas ditangannya. Wajahnya menunjukkan kebingungan.
            Kurasa nanti aku harus mengecek pekerjaan Yudi. Anak itu kadang bisa menjadi orang yang tidak mudah ditebak.
            “Iyaa kak.. ada apa?”
            “Silahkan duduk,” jawabku dingin.
          Terdiam sejenak dan memandang lurus ke dalam matanya. Beberapa saat kemudian aku masih belum ingin megatakan apa-apa. Rupanya dia jadi bingung dan salah tingkah.
            “Kak?”
            “Kali ini apa yang kamu pikirin? Mau pindah ke lantai dua?”
            “Lantai dua?”
       “Majalah remaja. Kamu bisa menulis artikel cinta disana. Kakak bisa bikinin surat rekomendasi sekarang juga. Kamu mau itu?”
            “Bukan itu—“
            “Kakak mikir kamu nggak mau disini lagi. Jadi…”
            “Maaf kak, bukan itu maksudku nulis itu,” jawabnya memelas.
            Sontak aku kehilangan kata-kata. Entah kenapa anak ini selalu membuatku berpikir panjang untuk menghakiminya terlalu jauh. Kurasa aku harus memakai cara lain. Sejak tadi aku melihatnya tampak lebih muram daripada biasanya. Dilihat dari umurnya yang masih muda. Wajar kalau dia memiliki masalah cinta. Aku sekarang mengerti apa makna yang terkandung dalam artikel tadi. Tapi tunggu dulu, apa urusanku dengan masalah itu. Aku harus tetap fokus pada kelangsungan majalah ini. Tidak boleh ada satu jiwa yang boleh merusaknya. Entah itu cinta atau patah hati.
            “Kakak simpan artikelnya. Kakak mau artikel olahraga. Kamu tahu itu, dan kakak pikir ini cuma kesalah pahaman. Sekarang kakak mau tanya. Gimana kerjaanmu sama bang Haris?”
            “Baik kak, bang Haris udah ngajarin cara ngerjainnya.”
            “Oke. Lalu kenapa wajahmu masih kelihatan bingung. Masih banyak kerjaannya?”
            “Iya kak. Yudi takut salah, jadi ngerjainnya pelan-pelan dulu sambil belajar.”
            “Oke. Kakak pikir nggak ada masalah. Silahkan lanjutin kerjaanmu.”
            “Terima kasih kak,” jawab Yudi dengan wajah merasa bersalah.
            Anak itu kelihatan aneh hari ini. Pasti ada yang salah dengan otaknya. Lagipula aku masih nggak habis pikir kenapa personalia bisa memasukkan dia ke divisi olahraga ini. Dia bisa saja dimasukkan ke majalah sastra dilantai empat, atau majalah remaja di lantai dua.
            Di depanku pada layar monitor aku membaca curriculum vitae milik Yudi.

Nama   : Yudi Widjaja
Umur   : 22 tahun

            Sekilas aku membaca semua informasi yang ada disana. Anak ini lumayan sibuk rupanya. Sering memenangkan beberapa kompetisi menulis cerpen dibeberapa majalah. Dan dia juga memenangkan kompetisi membuat artikel di majalah ini. Jadi ini rupanya yang membuat dia menjadi salah satu karyawan disini. Cukup menganggumkan. Mungkin aku harus mengenal anak itu lebih dekat.
            Berbakat. Mungkin kemampuannya masih harus di asah.
            Jadi ingat waktu dulu pertama kali menulis artikel. Waktu itu aku masih anak magang. Rasanya setiap hari kepala editor menghujaniku dengan makian. Tidak ada jeda bagiku untuk bernafas. Tapi untuk semua makian itu aku harus mengucapkan terima kasih. Itu yang membuatku berada di posisiku sekarang.
            Walaupun bukan sebagai kepala editor. Tapi aku cukup puas dengan posisi editor sekarang ini. Rasanya seperti telah berlalu bertahun-tahun lalu. Padahal baru tujuh tahun yang lalu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di perusahaan ini.
            Aku penasaran akan jadi apa Yudi nanti, kelihatannya dia anak yang baik. Lagipula apa perduliku dengan dia.
            Malam terlalu cepat merangkak. Lagi-lagi aku kehabisan kopi. Pelan-pelan aku meregangkan badan. Hari ini lumayan sibuk. Masih harus mempertahankan kewarasanku, buru-buru aku mengambil cangkir di sebelahku dan berjalan keluar.
            Melihat masih ada Yudi di meja kerjanya. Urungkan niat untuk menyapanya. Demi melihatnya tertawa bahagia sendiri. Dia berkonsentrasi memandang smartphone ditangannya. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. Adakah dia telah menyerahkan cintanya pada orang lain.
            Dari matanya terlihat bunga-bunga beterbagan. Bunga cantik berwarna merah muda, biru, oranye, semua dalam warna pastel lembut. Kerut diwajahnya seakan melembut seiring ketikan chat yang dia lakukan. Kurasa ada seorang gadis diluar sana sedang berbincang hangat dengan Yudi.
            Melanjutkan perjalananku ke meja kopi. Aku tersenyum sendiri. Rasanya menyenangkan mengetahui kebahagiaan orang lain, walaupun aku hanya bisa merasakannya sambil lalu. Tapi lama-lama rasanya seperti sebuah tusukan. Sebuah tusukan kecil serupa jarum beracun. Dan racunnya perlahan menyebar sampai ke tenggorokan dan paru-paruku. Aku tak bisa bernafas.
            Oh Tuhan. Tidak perasaan itu lagi. Sudah cukup aku menangis. Tak perlu aku mengingat saat-saat pahit itu sekarang ini. Tidak setelah beberapa bulan ini akhirnya aku berhasil menjauh darinya.
            Pelan-pelan aku mengatur nafas. Menghilangkan racun yang kini telah sampai ke otak. Tarik hembuskan … tarik lagi, hembuskan. Seperti melakukan senam pagi. Seperti meminum obat sakit kepala. Aku tidak boleh lupa untuk meminumnya. Aku tidak boleh lupa bagaimana cara mengendalikan diri. Orang lain tidak boleh tahu isi hatiku yang menyedihkan ini, apalagi Yudi.
            “Kak?”
            Huft… hembusan terakhir.
            “Kakak nggak apa-apa? Kakak pucat,” tanyanya dengan wajah khawatir.
            “Nggak apa-apa,” kataku akhirnya. Aku harus melukis senyuman yang sempurna di wajah.
            Aku berhasil membentuk senyuman samar-samar. Alhasil Yudi masih memandangku dengan pandangan curiga.
            “Gimana kerjaanmu?”
            Yudi hanya mengangkat bahu. Wajahnya masih bersemangat. Aku jadi teringat ekspresi Yudi tadi. Masihkah rasa cinta itu menghangat dihatinya. Kalau melihat sinar dimatanya, kurasa semua orang bakal tahu dia sedang dimabuk kepayang.
            Tanpa sadar, ada senyuman terbentuk di bibirku.
            “Ada yang lucu?” tanya Yudi.
            “Apa?”
            “Kakak senyum sendiri, ada yang lucu kayaknya.”
        “Ohhh sorry….nggak ada. Nggak sengaja inget sesuatu,” jawabku berkelit. Berusaha menyembunyikan senyumanku lebih dalam. “Kamu apa kabar? Kelihatannya lagi seneng.”
            Yudi jadi salah tingkah. Tersenyum penuh arti.
            “Nggak perlu dijawab. Semoga kamu bahagia sama cewekmu. Hehehe…”
            “Apaan sih kak,” jawab Yudi berusaha menyembunyikan senyum mabuk cintanya.
            “Hahaha….jangan bikin kakak ketawa tambah kenceng deh.”
            Dan sampailah kami pada obrolan menyenangkan seperti malam kemarin dan malam-malam sebelumnya.
            Aku begitu menikmati ceritanya. Tentang gadis yang disukainya. Bagaimana rupa gadis itu. Bagaimana rasa dihatinya, dan bagaimana cara dia mengorbankan segalanya. Semuanya begitu memabukkan. Bagaimana aku tidak terhanyut, dia menceritakannya dengan penuh cinta. Dan dia membagi limpahan bunga cintanya kepadaku. Kalau aku tidak bisa menjadi salah satu bunganya, aku bisa menjadi lebah yang menghisap sari bunganya.
            Malam itu kami pulang dengan hati berbunga-bunga. Kurasa aku berbahagia untuknya. Dan dia berbahagia untuk gadis yang dicintainya. Kami sama-sama bahagia, dan kami sama-sama tidur nyenyak. Mungkin malah Yudi bermimpi bertemu gadis pujaannya. Dan aku memohon pada Tuhan, untuk menghilangkan mimpi buruk dari tidurku kali ini.
            Beberapa hari berlalu. Kami masih berbincang sehangat seperti sebelumnya. Seperti orang yang hanya ingin berbagi. Aku suka mendengarnya bercerita, penuh semangat masa muda. Rasanya seperti kembali lebih muda. Kurasa aku tidak pernah absen mendengarnya bercerita, seperti malam ini. Aku sengaja berjalan ke meja kerjanya.
            Disana aku menemukannya, seluruh keceriaannya seperti terhisap vacuum cleaner super jahat. Digantikan oleh awan hitam. Seperti hujan menghantui tiap langkahnya. Segera di sekelilingnya berubah menjadi sewarna abu-abu. Seperti foto hitam putih. Yudi telah kehilangan sinar keemasan dimatanya.
            Aku terkejut.
            Lagi-lagi aku melihatnya memandang smartphonenya penuh arti. Gadis itu siapa namanya. Yudi pernah bercerita padaku. Shinta.
            Mungkinkah Shinta yang membuat Yudi menahan badai di hatinya. Melihat Yudi seperti melihat diriku sendiri. Aku pernah merasakan yang dia rasakan sekarang. Aku tahu, hanya perlu melihatnya sekali. Tak perlu dua kali. Aku tahu yang dia butuhkan. Dia butuh teman bicara.
            Kurasa dua cangkir kopi akan menemani kami malam ini.
            “Hai…” sapaku di dekat mejanya sambil menyodorkan secangkir kopi ke arahnya.
            “Hai kak,” jawabnya sumringah. Namun tetap mendung itu menggelayut sempurna di wajahnya.
            “Minum dulu kopinya,” kataku penuh arti. Aku tersenyum dan sejenak menarik kursi di dekatnya.
            Kami terdiam cukup lama. Bukan jenis diam yang membuat canggung. Kami menikmati kesunyian itu. Menikmati tiap tegukan kopi kami. Tak perlu terburu-buru. Tak perlu menceritakan atau berbincang apapun. Hanya butuh untuk ada. Menemani. Tak perlu ikut campur kalau memang hanya itu yang dibutuhkan.
            “Apa kabar?” tanyaku akhirnya.
            Awalnya dia terkejut. Tidak yakin harus menjawab apa. Tapi kurasa dia memilih untuk tegar.
            “Lumayan,” jawabnya singkat.
            Walaupun aku tidak puas dengan jawabannya tapi aku senang dia tersenyum. Dan mendung itu perlahan menghilang. Walaupun belum seluruhnya. Mungkin kami bisa menghilangkannya pelan-pelan.

Jumat, 27 September 2013

Kisahku yang meloow

 Chapter 1 (part 3)

Yudi. 22.10

Huhhh..
Akhirnya Sampai juga aku di Rumah.
Aku parkir Scooterku di teras depan rumah.
Ku hempaskan badanku di kamar kecilku.
Terasa lumayan capek hari ini, pekerjaan yg menumpuk blum juga kelar.
Artikelku yg amburadul.
Sial.. otak ku hari ini lumayan bleeeenk.
Ntah kemana arah tujuan nya..
Melayang tinggi lalu jatuh di hempas angiiin..
Aku coba pejamkan mata..
Tiba-tiba teringat tadi, aku bercakap sama kak Mira..
Apapun yg kita omongin jadi nyambung dan menarik.
Kayak nya aku mulai tertarik dengan nya...
Dengan wanita yg gila bekerja, punya pandangan datar, gak suka bergaul..
Kelihatan sombong...
Hahahahahahahahaah...
Mungkin itu pendapat bagi orang yang tidak mengenalnya dekat.
Tapi hatiku berpikiran lain.
Dia menyenangkan, pandai, dan lembut.

Hissst...
Knapa aku jadi kepikiran dia terus..
Ku tengok jam dindingku sudah menunjuk angka 23.30
Aku sadar teringat pekerjaanku yang belum kelar..
Besok mau di minta bu boosss yg gila bekerja itu..
Hahahahahahahaha.
Sambil tersenyum kecil aku beranjak ke kamar mandi, ku guyur kepalaku dengan air.
Segaaaaaaaar...
Otak ku terasa frees lagi.
Aku nyalakan kompor gas ku, dan segelas air akan ku rebus untuk membuat teman faforitku yaitu, si Kopi hitam...
Aku bawa ke kamar dan mulai ku buka laptopku..
Dan berfikir mau nulis apa..??
Tiba tiba terlintas sebuah bayangan wajah nan manis tersenyum padaku.
Siaaalll.
Lagi-lagi Shinta tersenyum lebar di pikiranku.
Wanita yg aku Cintai selama ini.
Tapi dia tidak mau tau menau tentang perasaanku ini.
Aku menghembuskan nafasku pelaaaan...
Huuuuuh..!!
Knapa aku tidak menulis kisah nyataku dengan Shinta.
Yaaaah, walaupun aku agak keluar dari majalah olah raga kami.
Tapi kan di kantor banyak menerbitkan majalah anak muda.
Mana tau pembaca suka..!!
Tentang Cinta yang selama ini aku kejar, tapi tak kunjung datang.
Hahahahahahahaha...
Semoga kak Mira juga Suka..

Dan ku mulai menulis sedikit kisahku yang sederhana ini...
Dengan di temani segelas Kopi dan berbatang-batang rokok ku.
Aku mulai menulis..

Yang ku beri judul : Dia dan cuma Dia.

DIA DAN CUMA DIA.

Dia yang selalu buat jantungku berdetak kencang saat aku bersamanya..
Dia yang bisa membuat aku tersenyum lebar.
Dan dia lah yg membuat aku jatuh cinta.
Tapi entah mengapa, aku sangat takut mencintainya.
Aku selalu merasa tak pantas di dekatnya.
Dia terlalu lebih, lebih dan sangat lebih bagiku..
Sedang aku apa?
Mana mampu aku membuatnya bahagia..
Mana sanggup aku membuatnya bangga mempunyai aku.
Mengurus diriku sendiri saja aku belum mampu..
Tapi apa aku harus menyerah dan berputus asa begitu saja...
Apa aku bisa melihatnya bahagia dengan orang lain..

Entah lah.
Q tak mampu menjawab semua pertanyaan hati kecilku..
Sedang dia belum tentu mempunyai perasaan yang sama sepertiku..
Aku juga tak tau. Dia menganggapku apa..?
Apakah teman, sahabat, orang yang spesial di hatinya. Atau mungkin aku Sampah yg tak pernah di anggap nya ada..
Aku sangat takut mencintai nya.
Dimataku dia sangat perfeck, sunguh sempurna.
Senyumnya yang bisa membuat hatiku tentram.
Matanya yang selalu menatap ke hadapan Ka'bah.
Mulutnya yang selalu di jaga dengan perkataan yg Tulus dan sopan.
Raut wajahnya yang begitu cantik, apa lagi jika dia berhijab.
Sungguh membuat aku ingin memilikinya.
Wanita yang aku idam"kan ada di hadapanku..

Tapi apa daya, hati kecilku berkata lain.
APA PANTAS AKU UNTUKNYA TUHAN.

Tuhan tolong aku,
Jika memang dia untuk ku, izinkan aku membahagiakanya.
Jika memang dia bukan untuk ku.
Maka bahagiakan dia dengan orang lain yang lebih mencintainya. Ketimbang aku yang lemah ini...
Tapi aku akan selalu iklhas mencintai, walau tak pernah di cintai..
Aku akan selalu berusaha memberi.. walau aku tak pernah di beri...

Dia pernah bicara padaku, bahwa dia tidak bisa mencintaiku lebih dari sahabatnya...
Hancur,tersobek hatiku mendengarnya.
Tapi aku coba bertahan.bertahan. dan akan teruuuus bertahan..

Tuhan, akan ku serahkan semua padaMU..
Aku percaya tak ada yang tak
mungkin, jika ENGKAU kehendaki.
Engkau maha adil, maha bijaksana.
Aku akan serahkan semua padaMU.
aku mohon, buat dia selalu ada di jalanMU.
Bahagiakan dia, peluk dia saat dia kesepian.
Dan buatlah dia semakin kuat untuk menjalani semua cobaan hidup ini.
Terimakasih Tuhan.
Aku sangat mencintainya.

I CAN'T STOP LOVING YOU.

Haaaaaah..
Akhirnyaaa..
Selesai juga tulisan yang membosankan ini.
Semoga besok kak Mira suka.
Pikirku pendek..
Lelah juga mata ini, tak kusangka jam ternyata sudah 02.05 pagi.
Ku cari selimutku dan bruuuk..
Tertidur dengan pulas.

Keesokan pagi di kantor aku langsung menyerahkan tulisan ini ke kak Mira..

Tok.tok.tok..
Selamat pagi kak..
Sapaku sambil tersenyum.
Dia menyapa pagi Yudi..
Ada yang bisa kakak bantu..??
Iya kak.. jawabku.
Ini tulisanku yang baru.
Aku serahkan..
Lalu dia bertanya??
Loh. Emang kapan kamu kerjain, kok sudah selesai. Tanya dia sambil sinis tidak percaya.
Ku jawab enteng sambil tersenyum..
Semalam kak.
Heheehehe..
Gak tidur donk kamu..
Cetusnya lagi siniss.
Tidur kok, aku jawab sambil ngrenyitkan jidat..
Tapi ini bukan tentang olah raga kak, ini tentang perasaan anak muda yang melibatkan masalah Cinta..
Kak mira menjawab spontan " loh, kamu keluar dari sekenario mu selama ini"
Seolah tak percaya dia.
Lalu pelan dia bicara.
Aku liatnya dulu, mana tau bagus.
Sambil senyum kak mira menghadapku.
Ya udah kak.
Aku mau melanjutkan kerjaanku dulu.
Dia menjawab iyaaaaaa.
Lalu aku pergi dari ruanganya.

Dalam hatiku terus berpikir.
Kak Mira suka apa tidak.
Teruuuuus hawatirr..
Sambil aku melanjutkan kerjaanku yang menguras seluruh otakku ini...

Rabu, 25 September 2013

Terima Kasih Untuk Hari Ini

Chapter 1 (part 2)




“Khayalan adalah sebuah bentuk pelarian.”
“Apa?”
“Khayalan!!” kata bosku Mira agak sedikit terlalu kasar dari yang dia maksudkan.
Aku hanya bisa memandangnya tak mengerti.
“Waktu kau menulis artikel ini. Apa yang kamu pikirkan? Artikel apaan ini? Siapa yang mau membaca tulisan sampah ini. Salam.. bagi mereka yang terlupakan?”
“Tapi kak?”
“Nggak ada tapi!! Kakak nggak suka. Ini sampah. Buat lagi. Ini nggak sesuai sama pembaca kita.”
“Tapi ini jujur kak, sesuai kenyataan,” kataku berusaha meyakinkan. Walaupun wajahku terlihat datar. Tapi aku benar-benar berharap bosku menerima artikel itu.
“Terakhir kali kamu bikin tulisan. Kaka suka. Sesuai pembaca kita. Kamu suka fakta rupanya. Kenapa nggak gini aja. Kamu tulis tentang dua artis itu.”
“Artis?”
“Artis yang di artikelmu itu. Cara fakta tentang mereka. Yang belum diketahui publik. Hmm… mungkin hobi aneh mereka.”
“Hobi aneh?”
“Ya!! Siapa tahu Ronaldo mengoleksi upil di lokernya. Atau Messi suka mengoleksi celana dalam wanita. Itu lebih menarik.”
Ada jeda sejenak diantara kami. Aku jelas mengerti apa yang dia katakan. Tapi kenapa ide seperti itu tak pernah terlintas di otakku. Aku adalah anak baru di perusahaan majalah olah raga ini. Kak Mira adalah seorang editor yang terkenal berhati dingin. Berkali-kali aku menulis artikel, ini adalah artikelku yang paling buruk celaannya.
            Di perusahaan ini semua orang memanggilnya dengan namanya. Mira. Dia tidak suka dipanggil Ibu atau Ibu Mira. Padahal dia atasan untuk beberapa orang anak buah. Banyak yang bilang dia aneh. Tapi aku lebih suka memanggilnya kakak. Dan entah kenapa dia tidak keberatan. Padahal aku hanyalah anak baru.
            “Yudi?”
            “Iya kak?” jawabku kaget.
            “Bisa?”
            “Bisa kak. Saya usahakan.”
            “Lusa udah harus jadi,” kata kak Mira dingin. Matanya memandang tanpa ampun dari balik kacamata kotaknya. “Nggak usah nunjukin wajah melas gitu. Kakak nggak mau tahu. Kamu harus serahin tulisan itu secepatnya,” katanya dengan wajah bosan. Pandangan matanya seakan merendahkanku.
            “Iya,” kataku pasrah. Akhir dari pembicaraan kami. Dari mana aku harus mencari tema tentang hobi aneh ini.
***

Mira. 17:00 WIB

Aku memandang keluar jendela. Masih dengan pandangan yang sama, putus asa. Aku masih merasa belum akan menemukan penyelesaian masalah itu hari ini. Akan ada seseorang yang membawa jawabannya untukku. Akan ada saatnya, dan aku masih harus bersabar. Entah meskipun aku sudah merasa bosan atau hampir mati tercekik karena kehabisan nafas. Aku masih harus menunggu.
            Tok tok. Suara ketukan pintu.
            “Masuk.”
            “Mira.. ini artikel untuk bulan depan.”
            “Oke,” jawabku sambil tersenyum. “Harris, kamu lembur lagi?”
            “Iya.”
            “Pulang aja sekarang. Temenin istrimu dirumah. Kehamilannya udah hampir waktunya kan?”
            “Iyaa Mir….kata dokter sih minggu-minggu ini.”
            “Lalu kenapa kamu masih disini. Istrimu membutuhkanmu.”
            “Tapi masih ada kerjaan yang belum selesai,” kata Harris tidak yakin.
            “Biar Yudi yang ngerjain.”
            “Tapi Mir—“
            “Udah sana pulang.”
            Satu jam kemudian aku telah menyelesaikan pekerjaanku. Tapi aku belum ingin pulang. Dan hujanpun tiba-tiba mengguyur. Satu alasan lagi untuk mencegahku untuk segera pulang. Semakin deras. Suara kerasnya merdu di telingaku. Kurasa aku ingin menyeduh kopi.
            “Hai kak,” sapa Yudi di dekat meja kopi.
            “Kamu belum pulang?” tanyaku terkejut.
            “Belum nih kak,” jawabnya santai. “Kakak juga mau kopi?”
            “Boleh.”
            “Gula?”
            “Pahit. Terima kasih.”
            Beberapa jam kemudian. Sudah tidak ada alasan lagi bagiku untuk tetap berada di kantor. Rupanya Yudi juga baru pulang. Terpaku aku di depan pintu keluar. Memandang Yudi di kejauhan. Anak itu terlihat bersemangat, walaupun wajahnya selalu datar cenderung muram. Hujan telah reda, namun masih tersisa rasa sejuknya. Yudi menstarter skuternya.
            “Kak…!” sapa Yudi dari seberang parkir.
            “Hai.”
            “Kakak juga mau pulang?”
            “Iya. Kamu hati-hati ya.”
            “Siapp bozz,” jawab Yudi ceria.

***
Keesokan harinya. Waktu berjalan bagai terbang. Rasanya seperti belum mengerjakan apapun. Hari sudah beranjak senja. Langit menggelap. Aku menjadi kalap. Belum siap untuk pulang. Mengelap peluh dengan sapu tangan hitam.
            Sebaiknya aku mencari pekerjaan lain agar bayangan gelap itu segera menghilang. Atau setidaknya menghilang dulu dari mataku.
            Kopi. Aku butuh bantuan kaffein untuk membuat otakku tetap terjaga. Seandainya manusia tidak perlu tidur. Aku pasti akan memilih untuk tidak tidur. Tetap terjaga dan melanjutkan hidup.
            “Hai kak….”
            “Lagi-lagi Yudi….” Kataku dengan keterkejutan yang sama seperti kemarin.
            Isi kantor sudah habis. Biasanya hanya tinggal aku. Yang memang semua orang tahu, aku maniak kerja. Tapi sekarang sejak ada Yudi. Aku sering menemukannya di dekat meja kopi. Menyeduh serbuk hitam pekat itu dengan air panas, wajah konstan datar menghayati tiap adukan yang diayunkan oleh jemarinya.
            Seakan dia ingin mengusik monotonnya hidupku. Tak ingin aku sendirian. Tak ingin aku hidup dalam waktu yang konstan. Dan dia mengobrak-abrik waktu sendiriku dengan seduhan kopinya. Rasanya aku terhanyut.
            “Ini buat kakak,” katanya menyodorkan secangkir besar kopi mengepul. Aromanya sempurna.
            Dan tanpa sadar kami sudah berbincang hangat. Entah tentang apa. Aku telah lupa. Yang penting kami menikmatinya. Dan secangkir kopi itu kembali menerbangkan sang waktu. Kami harus beranjak pulang.
            “Kak.. aku pulang dulu ya,” teriaknya di depan pintu kantorku.
            “Iyaa.. kamu duluan aja. Kakak juga mau siap-siap pulang nih.”
            “Terima kasih untuk hari ini.”
            Aku terkesiap sempurna. Tidak yakin harus menjawab apa. Tapi senyumnya lagi-lagi menghanyutkan. Aku memilih untuk tersenyum.