Mira 16:00 WIB
Sekilas aku membaca artikel yang
ditulis Yudi. Anak itu pasti bercanda. Bagaimana bisa bagian personalia
menerimanya jadi karyawan di perusahaan ini. Aku pasti gila jika kali ini tidak
mengeluarkan peringatan padanya. Tapi bulan kemarin anak itu menulis artikel lumayan bagus. Apa sebenarnya
yang terjadi.
Bisakah
sebuah otak hari ini melakukan sesuatu yang bagus keesokan harinya berubah jadi
idiot. Jelas-jelas majalah kami adalah majalah olahraga kenapa dia malah
memberiku artikel cinta. Prosa cinta. Puisi cinta? Entah apa ini sebutannya.
Dan kenapa judulnya sangat menyedihkan seperti ini. Membaca tulisan ini seperti
mengunyah pil pahit tanpa tambahan penetral, rasanya memuakkan. Harusnya orang
bisa menangis membaca ini tapi sekarang aku merasa… hmm… kehilangan rasa.
Seperti makanan yang lupa diberi garam. Hampir hambar.
Aku
menengok jam mickey yang ada dimeja kerjaku. Sudah waktunya pulang.
Beberapa menit lagi ruang kerja diluar sana
pasti sepi. Aku harus segera memanggil Yudi.
“Yudi…
kakak mau bicara,” kataku di depan pintu kantor.
“Iyaa
kak,” jawab Yudi segera. Kelihatannya dia sedang sibuk. Ada beberapa lembar kertas ditangannya.
Wajahnya menunjukkan kebingungan.
Kurasa
nanti aku harus mengecek pekerjaan Yudi. Anak itu kadang bisa menjadi orang
yang tidak mudah ditebak.
“Iyaa
kak.. ada apa?”
“Silahkan
duduk,” jawabku dingin.
Terdiam
sejenak dan memandang lurus ke dalam matanya. Beberapa saat kemudian aku masih
belum ingin megatakan apa-apa. Rupanya dia jadi bingung dan salah tingkah.
“Kak?”
“Kali
ini apa yang kamu pikirin? Mau pindah ke lantai dua?”
“Lantai
dua?”
“Majalah
remaja. Kamu bisa menulis artikel cinta disana. Kakak bisa bikinin surat rekomendasi sekarang
juga. Kamu mau itu?”
“Bukan
itu—“
“Kakak
mikir kamu nggak mau disini lagi. Jadi…”
“Maaf
kak, bukan itu maksudku nulis itu,” jawabnya memelas.
Sontak
aku kehilangan kata-kata. Entah kenapa anak ini selalu membuatku berpikir
panjang untuk menghakiminya terlalu jauh. Kurasa aku harus memakai cara lain.
Sejak tadi aku melihatnya tampak lebih muram daripada biasanya. Dilihat dari umurnya
yang masih muda. Wajar kalau dia memiliki masalah cinta. Aku sekarang mengerti
apa makna yang terkandung dalam artikel tadi. Tapi tunggu dulu, apa urusanku
dengan masalah itu. Aku harus tetap fokus pada kelangsungan majalah ini. Tidak
boleh ada satu jiwa yang boleh merusaknya. Entah itu cinta atau patah hati.
“Kakak
simpan artikelnya. Kakak mau artikel olahraga. Kamu tahu itu, dan kakak pikir
ini cuma kesalah pahaman. Sekarang kakak mau tanya. Gimana kerjaanmu sama bang
Haris?”
“Baik
kak, bang Haris udah ngajarin cara ngerjainnya.”
“Oke.
Lalu kenapa wajahmu masih kelihatan bingung. Masih banyak kerjaannya?”
“Iya
kak. Yudi takut salah, jadi ngerjainnya pelan-pelan dulu sambil belajar.”
“Oke.
Kakak pikir nggak ada masalah. Silahkan lanjutin kerjaanmu.”
“Terima
kasih kak,” jawab Yudi dengan wajah merasa bersalah.
Anak
itu kelihatan aneh hari ini. Pasti ada yang salah dengan otaknya. Lagipula aku
masih nggak habis pikir kenapa personalia bisa memasukkan dia ke divisi
olahraga ini. Dia bisa saja dimasukkan ke majalah sastra dilantai empat, atau
majalah remaja di lantai dua.
Di
depanku pada layar monitor aku membaca curriculum vitae milik Yudi.
Nama : Yudi Widjaja
Umur : 22 tahun
Sekilas
aku membaca semua informasi yang ada disana. Anak ini lumayan sibuk rupanya.
Sering memenangkan beberapa kompetisi menulis cerpen dibeberapa majalah. Dan
dia juga memenangkan kompetisi membuat artikel di majalah ini. Jadi ini rupanya
yang membuat dia menjadi salah satu karyawan disini. Cukup menganggumkan.
Mungkin aku harus mengenal anak itu lebih dekat.
Berbakat.
Mungkin kemampuannya masih harus di asah.
Jadi
ingat waktu dulu pertama kali menulis artikel. Waktu itu aku masih anak magang.
Rasanya setiap hari kepala editor menghujaniku dengan makian. Tidak ada jeda
bagiku untuk bernafas. Tapi untuk semua makian itu aku harus mengucapkan terima
kasih. Itu yang membuatku berada di posisiku sekarang.
Walaupun
bukan sebagai kepala editor. Tapi aku cukup puas dengan posisi editor sekarang
ini. Rasanya seperti telah berlalu bertahun-tahun lalu. Padahal baru tujuh
tahun yang lalu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di perusahaan ini.
Aku
penasaran akan jadi apa Yudi nanti, kelihatannya dia anak yang baik. Lagipula
apa perduliku dengan dia.
Malam
terlalu cepat merangkak. Lagi-lagi aku kehabisan kopi. Pelan-pelan aku
meregangkan badan. Hari ini lumayan sibuk. Masih harus mempertahankan
kewarasanku, buru-buru aku mengambil cangkir di sebelahku dan berjalan keluar.
Melihat
masih ada Yudi di meja kerjanya. Urungkan niat untuk menyapanya. Demi
melihatnya tertawa bahagia sendiri. Dia berkonsentrasi memandang smartphone
ditangannya. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. Adakah dia telah
menyerahkan cintanya pada orang lain.
Dari
matanya terlihat bunga-bunga beterbagan. Bunga cantik berwarna merah muda,
biru, oranye, semua dalam warna pastel lembut. Kerut diwajahnya seakan melembut
seiring ketikan chat yang dia lakukan. Kurasa ada seorang gadis diluar sana sedang berbincang
hangat dengan Yudi.
Melanjutkan
perjalananku ke meja kopi. Aku tersenyum sendiri. Rasanya menyenangkan
mengetahui kebahagiaan orang lain, walaupun aku hanya bisa merasakannya sambil
lalu. Tapi lama-lama rasanya seperti sebuah tusukan. Sebuah tusukan kecil
serupa jarum beracun. Dan racunnya perlahan menyebar sampai ke tenggorokan dan
paru-paruku. Aku tak bisa bernafas.
Oh
Tuhan. Tidak perasaan itu lagi. Sudah cukup aku menangis. Tak perlu aku
mengingat saat-saat pahit itu sekarang ini. Tidak setelah beberapa bulan ini
akhirnya aku berhasil menjauh darinya.
Pelan-pelan
aku mengatur nafas. Menghilangkan racun yang kini telah sampai ke otak. Tarik
hembuskan … tarik lagi, hembuskan. Seperti melakukan senam pagi. Seperti
meminum obat sakit kepala. Aku tidak boleh lupa untuk meminumnya. Aku tidak
boleh lupa bagaimana cara mengendalikan diri. Orang lain tidak boleh tahu isi
hatiku yang menyedihkan ini, apalagi Yudi.
“Kak?”
Huft…
hembusan terakhir.
“Kakak
nggak apa-apa? Kakak pucat,” tanyanya dengan wajah khawatir.
“Nggak
apa-apa,” kataku akhirnya. Aku harus melukis senyuman yang sempurna di wajah.
Aku
berhasil membentuk senyuman samar-samar. Alhasil Yudi masih memandangku dengan
pandangan curiga.
“Gimana
kerjaanmu?”
Yudi
hanya mengangkat bahu. Wajahnya masih bersemangat. Aku jadi teringat ekspresi
Yudi tadi. Masihkah rasa cinta itu menghangat dihatinya. Kalau melihat sinar
dimatanya, kurasa semua orang bakal tahu dia sedang dimabuk kepayang.
Tanpa
sadar, ada senyuman terbentuk di bibirku.
“Ada yang lucu?” tanya
Yudi.
“Apa?”
“Kakak
senyum sendiri, ada yang lucu kayaknya.”
“Ohhh
sorry….nggak ada. Nggak sengaja inget sesuatu,” jawabku berkelit. Berusaha
menyembunyikan senyumanku lebih dalam. “Kamu apa kabar? Kelihatannya lagi
seneng.”
Yudi
jadi salah tingkah. Tersenyum penuh arti.
“Nggak
perlu dijawab. Semoga kamu bahagia sama cewekmu. Hehehe…”
“Apaan
sih kak,” jawab Yudi berusaha menyembunyikan senyum mabuk cintanya.
“Hahaha….jangan
bikin kakak ketawa tambah kenceng deh.”
Dan
sampailah kami pada obrolan menyenangkan seperti malam kemarin dan malam-malam
sebelumnya.
Aku
begitu menikmati ceritanya. Tentang gadis yang disukainya. Bagaimana rupa gadis
itu. Bagaimana rasa dihatinya, dan bagaimana cara dia mengorbankan segalanya.
Semuanya begitu memabukkan. Bagaimana aku tidak terhanyut, dia menceritakannya
dengan penuh cinta. Dan dia membagi limpahan bunga cintanya kepadaku. Kalau aku
tidak bisa menjadi salah satu bunganya, aku bisa menjadi lebah yang menghisap
sari bunganya.
Malam
itu kami pulang dengan hati berbunga-bunga. Kurasa aku berbahagia untuknya. Dan
dia berbahagia untuk gadis yang dicintainya. Kami sama-sama bahagia, dan kami
sama-sama tidur nyenyak. Mungkin malah Yudi bermimpi bertemu gadis pujaannya.
Dan aku memohon pada Tuhan, untuk menghilangkan mimpi buruk dari tidurku kali
ini.
Beberapa
hari berlalu. Kami masih berbincang sehangat seperti sebelumnya. Seperti orang
yang hanya ingin berbagi. Aku suka mendengarnya bercerita, penuh semangat masa
muda. Rasanya seperti kembali lebih muda. Kurasa aku tidak pernah absen
mendengarnya bercerita, seperti malam ini. Aku sengaja berjalan ke meja
kerjanya.
Disana
aku menemukannya, seluruh keceriaannya seperti terhisap vacuum cleaner super
jahat. Digantikan oleh awan hitam. Seperti hujan menghantui tiap langkahnya.
Segera di sekelilingnya berubah menjadi sewarna abu-abu. Seperti foto hitam
putih. Yudi telah kehilangan sinar keemasan dimatanya.
Aku
terkejut.
Lagi-lagi
aku melihatnya memandang smartphonenya penuh arti. Gadis itu siapa namanya.
Yudi pernah bercerita padaku. Shinta.
Mungkinkah
Shinta yang membuat Yudi menahan badai di hatinya. Melihat Yudi seperti melihat
diriku sendiri. Aku pernah merasakan yang dia rasakan sekarang. Aku tahu, hanya
perlu melihatnya sekali. Tak perlu dua kali. Aku tahu yang dia butuhkan. Dia
butuh teman bicara.
Kurasa
dua cangkir kopi akan menemani kami malam ini.
“Hai…”
sapaku di dekat mejanya sambil menyodorkan secangkir kopi ke arahnya.
“Hai
kak,” jawabnya sumringah. Namun tetap mendung itu menggelayut sempurna di
wajahnya.
“Minum
dulu kopinya,” kataku penuh arti. Aku tersenyum dan sejenak menarik kursi di
dekatnya.
Kami
terdiam cukup lama. Bukan jenis diam yang membuat canggung. Kami menikmati
kesunyian itu. Menikmati tiap tegukan kopi kami. Tak perlu terburu-buru. Tak
perlu menceritakan atau berbincang apapun. Hanya butuh untuk ada. Menemani. Tak
perlu ikut campur kalau memang hanya itu yang dibutuhkan.
“Apa
kabar?” tanyaku akhirnya.
Awalnya
dia terkejut. Tidak yakin harus menjawab apa. Tapi kurasa dia memilih untuk
tegar.
“Lumayan,”
jawabnya singkat.
Walaupun
aku tidak puas dengan jawabannya tapi aku senang dia tersenyum. Dan mendung itu
perlahan menghilang. Walaupun belum seluruhnya. Mungkin kami bisa
menghilangkannya pelan-pelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar