Minggu, 29 September 2013

Apa kabar?

Chapter 1 (part 4)



Mira 16:00 WIB

Sekilas aku membaca artikel yang ditulis Yudi. Anak itu pasti bercanda. Bagaimana bisa bagian personalia menerimanya jadi karyawan di perusahaan ini. Aku pasti gila jika kali ini tidak mengeluarkan peringatan padanya. Tapi bulan kemarin anak itu  menulis artikel lumayan bagus. Apa sebenarnya yang terjadi.
            Bisakah sebuah otak hari ini melakukan sesuatu yang bagus keesokan harinya berubah jadi idiot. Jelas-jelas majalah kami adalah majalah olahraga kenapa dia malah memberiku artikel cinta. Prosa cinta. Puisi cinta? Entah apa ini sebutannya. Dan kenapa judulnya sangat menyedihkan seperti ini. Membaca tulisan ini seperti mengunyah pil pahit tanpa tambahan penetral, rasanya memuakkan. Harusnya orang bisa menangis membaca ini tapi sekarang aku merasa… hmm… kehilangan rasa. Seperti makanan yang lupa diberi garam. Hampir hambar.
            Aku menengok jam mickey yang ada dimeja kerjaku. Sudah waktunya pulang. Beberapa menit lagi ruang kerja diluar sana pasti sepi. Aku harus segera memanggil Yudi.
            “Yudi… kakak mau bicara,” kataku di depan pintu kantor.
      “Iyaa kak,” jawab Yudi segera. Kelihatannya dia sedang sibuk. Ada beberapa lembar kertas ditangannya. Wajahnya menunjukkan kebingungan.
            Kurasa nanti aku harus mengecek pekerjaan Yudi. Anak itu kadang bisa menjadi orang yang tidak mudah ditebak.
            “Iyaa kak.. ada apa?”
            “Silahkan duduk,” jawabku dingin.
          Terdiam sejenak dan memandang lurus ke dalam matanya. Beberapa saat kemudian aku masih belum ingin megatakan apa-apa. Rupanya dia jadi bingung dan salah tingkah.
            “Kak?”
            “Kali ini apa yang kamu pikirin? Mau pindah ke lantai dua?”
            “Lantai dua?”
       “Majalah remaja. Kamu bisa menulis artikel cinta disana. Kakak bisa bikinin surat rekomendasi sekarang juga. Kamu mau itu?”
            “Bukan itu—“
            “Kakak mikir kamu nggak mau disini lagi. Jadi…”
            “Maaf kak, bukan itu maksudku nulis itu,” jawabnya memelas.
            Sontak aku kehilangan kata-kata. Entah kenapa anak ini selalu membuatku berpikir panjang untuk menghakiminya terlalu jauh. Kurasa aku harus memakai cara lain. Sejak tadi aku melihatnya tampak lebih muram daripada biasanya. Dilihat dari umurnya yang masih muda. Wajar kalau dia memiliki masalah cinta. Aku sekarang mengerti apa makna yang terkandung dalam artikel tadi. Tapi tunggu dulu, apa urusanku dengan masalah itu. Aku harus tetap fokus pada kelangsungan majalah ini. Tidak boleh ada satu jiwa yang boleh merusaknya. Entah itu cinta atau patah hati.
            “Kakak simpan artikelnya. Kakak mau artikel olahraga. Kamu tahu itu, dan kakak pikir ini cuma kesalah pahaman. Sekarang kakak mau tanya. Gimana kerjaanmu sama bang Haris?”
            “Baik kak, bang Haris udah ngajarin cara ngerjainnya.”
            “Oke. Lalu kenapa wajahmu masih kelihatan bingung. Masih banyak kerjaannya?”
            “Iya kak. Yudi takut salah, jadi ngerjainnya pelan-pelan dulu sambil belajar.”
            “Oke. Kakak pikir nggak ada masalah. Silahkan lanjutin kerjaanmu.”
            “Terima kasih kak,” jawab Yudi dengan wajah merasa bersalah.
            Anak itu kelihatan aneh hari ini. Pasti ada yang salah dengan otaknya. Lagipula aku masih nggak habis pikir kenapa personalia bisa memasukkan dia ke divisi olahraga ini. Dia bisa saja dimasukkan ke majalah sastra dilantai empat, atau majalah remaja di lantai dua.
            Di depanku pada layar monitor aku membaca curriculum vitae milik Yudi.

Nama   : Yudi Widjaja
Umur   : 22 tahun

            Sekilas aku membaca semua informasi yang ada disana. Anak ini lumayan sibuk rupanya. Sering memenangkan beberapa kompetisi menulis cerpen dibeberapa majalah. Dan dia juga memenangkan kompetisi membuat artikel di majalah ini. Jadi ini rupanya yang membuat dia menjadi salah satu karyawan disini. Cukup menganggumkan. Mungkin aku harus mengenal anak itu lebih dekat.
            Berbakat. Mungkin kemampuannya masih harus di asah.
            Jadi ingat waktu dulu pertama kali menulis artikel. Waktu itu aku masih anak magang. Rasanya setiap hari kepala editor menghujaniku dengan makian. Tidak ada jeda bagiku untuk bernafas. Tapi untuk semua makian itu aku harus mengucapkan terima kasih. Itu yang membuatku berada di posisiku sekarang.
            Walaupun bukan sebagai kepala editor. Tapi aku cukup puas dengan posisi editor sekarang ini. Rasanya seperti telah berlalu bertahun-tahun lalu. Padahal baru tujuh tahun yang lalu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di perusahaan ini.
            Aku penasaran akan jadi apa Yudi nanti, kelihatannya dia anak yang baik. Lagipula apa perduliku dengan dia.
            Malam terlalu cepat merangkak. Lagi-lagi aku kehabisan kopi. Pelan-pelan aku meregangkan badan. Hari ini lumayan sibuk. Masih harus mempertahankan kewarasanku, buru-buru aku mengambil cangkir di sebelahku dan berjalan keluar.
            Melihat masih ada Yudi di meja kerjanya. Urungkan niat untuk menyapanya. Demi melihatnya tertawa bahagia sendiri. Dia berkonsentrasi memandang smartphone ditangannya. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. Adakah dia telah menyerahkan cintanya pada orang lain.
            Dari matanya terlihat bunga-bunga beterbagan. Bunga cantik berwarna merah muda, biru, oranye, semua dalam warna pastel lembut. Kerut diwajahnya seakan melembut seiring ketikan chat yang dia lakukan. Kurasa ada seorang gadis diluar sana sedang berbincang hangat dengan Yudi.
            Melanjutkan perjalananku ke meja kopi. Aku tersenyum sendiri. Rasanya menyenangkan mengetahui kebahagiaan orang lain, walaupun aku hanya bisa merasakannya sambil lalu. Tapi lama-lama rasanya seperti sebuah tusukan. Sebuah tusukan kecil serupa jarum beracun. Dan racunnya perlahan menyebar sampai ke tenggorokan dan paru-paruku. Aku tak bisa bernafas.
            Oh Tuhan. Tidak perasaan itu lagi. Sudah cukup aku menangis. Tak perlu aku mengingat saat-saat pahit itu sekarang ini. Tidak setelah beberapa bulan ini akhirnya aku berhasil menjauh darinya.
            Pelan-pelan aku mengatur nafas. Menghilangkan racun yang kini telah sampai ke otak. Tarik hembuskan … tarik lagi, hembuskan. Seperti melakukan senam pagi. Seperti meminum obat sakit kepala. Aku tidak boleh lupa untuk meminumnya. Aku tidak boleh lupa bagaimana cara mengendalikan diri. Orang lain tidak boleh tahu isi hatiku yang menyedihkan ini, apalagi Yudi.
            “Kak?”
            Huft… hembusan terakhir.
            “Kakak nggak apa-apa? Kakak pucat,” tanyanya dengan wajah khawatir.
            “Nggak apa-apa,” kataku akhirnya. Aku harus melukis senyuman yang sempurna di wajah.
            Aku berhasil membentuk senyuman samar-samar. Alhasil Yudi masih memandangku dengan pandangan curiga.
            “Gimana kerjaanmu?”
            Yudi hanya mengangkat bahu. Wajahnya masih bersemangat. Aku jadi teringat ekspresi Yudi tadi. Masihkah rasa cinta itu menghangat dihatinya. Kalau melihat sinar dimatanya, kurasa semua orang bakal tahu dia sedang dimabuk kepayang.
            Tanpa sadar, ada senyuman terbentuk di bibirku.
            “Ada yang lucu?” tanya Yudi.
            “Apa?”
            “Kakak senyum sendiri, ada yang lucu kayaknya.”
        “Ohhh sorry….nggak ada. Nggak sengaja inget sesuatu,” jawabku berkelit. Berusaha menyembunyikan senyumanku lebih dalam. “Kamu apa kabar? Kelihatannya lagi seneng.”
            Yudi jadi salah tingkah. Tersenyum penuh arti.
            “Nggak perlu dijawab. Semoga kamu bahagia sama cewekmu. Hehehe…”
            “Apaan sih kak,” jawab Yudi berusaha menyembunyikan senyum mabuk cintanya.
            “Hahaha….jangan bikin kakak ketawa tambah kenceng deh.”
            Dan sampailah kami pada obrolan menyenangkan seperti malam kemarin dan malam-malam sebelumnya.
            Aku begitu menikmati ceritanya. Tentang gadis yang disukainya. Bagaimana rupa gadis itu. Bagaimana rasa dihatinya, dan bagaimana cara dia mengorbankan segalanya. Semuanya begitu memabukkan. Bagaimana aku tidak terhanyut, dia menceritakannya dengan penuh cinta. Dan dia membagi limpahan bunga cintanya kepadaku. Kalau aku tidak bisa menjadi salah satu bunganya, aku bisa menjadi lebah yang menghisap sari bunganya.
            Malam itu kami pulang dengan hati berbunga-bunga. Kurasa aku berbahagia untuknya. Dan dia berbahagia untuk gadis yang dicintainya. Kami sama-sama bahagia, dan kami sama-sama tidur nyenyak. Mungkin malah Yudi bermimpi bertemu gadis pujaannya. Dan aku memohon pada Tuhan, untuk menghilangkan mimpi buruk dari tidurku kali ini.
            Beberapa hari berlalu. Kami masih berbincang sehangat seperti sebelumnya. Seperti orang yang hanya ingin berbagi. Aku suka mendengarnya bercerita, penuh semangat masa muda. Rasanya seperti kembali lebih muda. Kurasa aku tidak pernah absen mendengarnya bercerita, seperti malam ini. Aku sengaja berjalan ke meja kerjanya.
            Disana aku menemukannya, seluruh keceriaannya seperti terhisap vacuum cleaner super jahat. Digantikan oleh awan hitam. Seperti hujan menghantui tiap langkahnya. Segera di sekelilingnya berubah menjadi sewarna abu-abu. Seperti foto hitam putih. Yudi telah kehilangan sinar keemasan dimatanya.
            Aku terkejut.
            Lagi-lagi aku melihatnya memandang smartphonenya penuh arti. Gadis itu siapa namanya. Yudi pernah bercerita padaku. Shinta.
            Mungkinkah Shinta yang membuat Yudi menahan badai di hatinya. Melihat Yudi seperti melihat diriku sendiri. Aku pernah merasakan yang dia rasakan sekarang. Aku tahu, hanya perlu melihatnya sekali. Tak perlu dua kali. Aku tahu yang dia butuhkan. Dia butuh teman bicara.
            Kurasa dua cangkir kopi akan menemani kami malam ini.
            “Hai…” sapaku di dekat mejanya sambil menyodorkan secangkir kopi ke arahnya.
            “Hai kak,” jawabnya sumringah. Namun tetap mendung itu menggelayut sempurna di wajahnya.
            “Minum dulu kopinya,” kataku penuh arti. Aku tersenyum dan sejenak menarik kursi di dekatnya.
            Kami terdiam cukup lama. Bukan jenis diam yang membuat canggung. Kami menikmati kesunyian itu. Menikmati tiap tegukan kopi kami. Tak perlu terburu-buru. Tak perlu menceritakan atau berbincang apapun. Hanya butuh untuk ada. Menemani. Tak perlu ikut campur kalau memang hanya itu yang dibutuhkan.
            “Apa kabar?” tanyaku akhirnya.
            Awalnya dia terkejut. Tidak yakin harus menjawab apa. Tapi kurasa dia memilih untuk tegar.
            “Lumayan,” jawabnya singkat.
            Walaupun aku tidak puas dengan jawabannya tapi aku senang dia tersenyum. Dan mendung itu perlahan menghilang. Walaupun belum seluruhnya. Mungkin kami bisa menghilangkannya pelan-pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar