Rabu, 25 September 2013

Terima Kasih Untuk Hari Ini

Chapter 1 (part 2)




“Khayalan adalah sebuah bentuk pelarian.”
“Apa?”
“Khayalan!!” kata bosku Mira agak sedikit terlalu kasar dari yang dia maksudkan.
Aku hanya bisa memandangnya tak mengerti.
“Waktu kau menulis artikel ini. Apa yang kamu pikirkan? Artikel apaan ini? Siapa yang mau membaca tulisan sampah ini. Salam.. bagi mereka yang terlupakan?”
“Tapi kak?”
“Nggak ada tapi!! Kakak nggak suka. Ini sampah. Buat lagi. Ini nggak sesuai sama pembaca kita.”
“Tapi ini jujur kak, sesuai kenyataan,” kataku berusaha meyakinkan. Walaupun wajahku terlihat datar. Tapi aku benar-benar berharap bosku menerima artikel itu.
“Terakhir kali kamu bikin tulisan. Kaka suka. Sesuai pembaca kita. Kamu suka fakta rupanya. Kenapa nggak gini aja. Kamu tulis tentang dua artis itu.”
“Artis?”
“Artis yang di artikelmu itu. Cara fakta tentang mereka. Yang belum diketahui publik. Hmm… mungkin hobi aneh mereka.”
“Hobi aneh?”
“Ya!! Siapa tahu Ronaldo mengoleksi upil di lokernya. Atau Messi suka mengoleksi celana dalam wanita. Itu lebih menarik.”
Ada jeda sejenak diantara kami. Aku jelas mengerti apa yang dia katakan. Tapi kenapa ide seperti itu tak pernah terlintas di otakku. Aku adalah anak baru di perusahaan majalah olah raga ini. Kak Mira adalah seorang editor yang terkenal berhati dingin. Berkali-kali aku menulis artikel, ini adalah artikelku yang paling buruk celaannya.
            Di perusahaan ini semua orang memanggilnya dengan namanya. Mira. Dia tidak suka dipanggil Ibu atau Ibu Mira. Padahal dia atasan untuk beberapa orang anak buah. Banyak yang bilang dia aneh. Tapi aku lebih suka memanggilnya kakak. Dan entah kenapa dia tidak keberatan. Padahal aku hanyalah anak baru.
            “Yudi?”
            “Iya kak?” jawabku kaget.
            “Bisa?”
            “Bisa kak. Saya usahakan.”
            “Lusa udah harus jadi,” kata kak Mira dingin. Matanya memandang tanpa ampun dari balik kacamata kotaknya. “Nggak usah nunjukin wajah melas gitu. Kakak nggak mau tahu. Kamu harus serahin tulisan itu secepatnya,” katanya dengan wajah bosan. Pandangan matanya seakan merendahkanku.
            “Iya,” kataku pasrah. Akhir dari pembicaraan kami. Dari mana aku harus mencari tema tentang hobi aneh ini.
***

Mira. 17:00 WIB

Aku memandang keluar jendela. Masih dengan pandangan yang sama, putus asa. Aku masih merasa belum akan menemukan penyelesaian masalah itu hari ini. Akan ada seseorang yang membawa jawabannya untukku. Akan ada saatnya, dan aku masih harus bersabar. Entah meskipun aku sudah merasa bosan atau hampir mati tercekik karena kehabisan nafas. Aku masih harus menunggu.
            Tok tok. Suara ketukan pintu.
            “Masuk.”
            “Mira.. ini artikel untuk bulan depan.”
            “Oke,” jawabku sambil tersenyum. “Harris, kamu lembur lagi?”
            “Iya.”
            “Pulang aja sekarang. Temenin istrimu dirumah. Kehamilannya udah hampir waktunya kan?”
            “Iyaa Mir….kata dokter sih minggu-minggu ini.”
            “Lalu kenapa kamu masih disini. Istrimu membutuhkanmu.”
            “Tapi masih ada kerjaan yang belum selesai,” kata Harris tidak yakin.
            “Biar Yudi yang ngerjain.”
            “Tapi Mir—“
            “Udah sana pulang.”
            Satu jam kemudian aku telah menyelesaikan pekerjaanku. Tapi aku belum ingin pulang. Dan hujanpun tiba-tiba mengguyur. Satu alasan lagi untuk mencegahku untuk segera pulang. Semakin deras. Suara kerasnya merdu di telingaku. Kurasa aku ingin menyeduh kopi.
            “Hai kak,” sapa Yudi di dekat meja kopi.
            “Kamu belum pulang?” tanyaku terkejut.
            “Belum nih kak,” jawabnya santai. “Kakak juga mau kopi?”
            “Boleh.”
            “Gula?”
            “Pahit. Terima kasih.”
            Beberapa jam kemudian. Sudah tidak ada alasan lagi bagiku untuk tetap berada di kantor. Rupanya Yudi juga baru pulang. Terpaku aku di depan pintu keluar. Memandang Yudi di kejauhan. Anak itu terlihat bersemangat, walaupun wajahnya selalu datar cenderung muram. Hujan telah reda, namun masih tersisa rasa sejuknya. Yudi menstarter skuternya.
            “Kak…!” sapa Yudi dari seberang parkir.
            “Hai.”
            “Kakak juga mau pulang?”
            “Iya. Kamu hati-hati ya.”
            “Siapp bozz,” jawab Yudi ceria.

***
Keesokan harinya. Waktu berjalan bagai terbang. Rasanya seperti belum mengerjakan apapun. Hari sudah beranjak senja. Langit menggelap. Aku menjadi kalap. Belum siap untuk pulang. Mengelap peluh dengan sapu tangan hitam.
            Sebaiknya aku mencari pekerjaan lain agar bayangan gelap itu segera menghilang. Atau setidaknya menghilang dulu dari mataku.
            Kopi. Aku butuh bantuan kaffein untuk membuat otakku tetap terjaga. Seandainya manusia tidak perlu tidur. Aku pasti akan memilih untuk tidak tidur. Tetap terjaga dan melanjutkan hidup.
            “Hai kak….”
            “Lagi-lagi Yudi….” Kataku dengan keterkejutan yang sama seperti kemarin.
            Isi kantor sudah habis. Biasanya hanya tinggal aku. Yang memang semua orang tahu, aku maniak kerja. Tapi sekarang sejak ada Yudi. Aku sering menemukannya di dekat meja kopi. Menyeduh serbuk hitam pekat itu dengan air panas, wajah konstan datar menghayati tiap adukan yang diayunkan oleh jemarinya.
            Seakan dia ingin mengusik monotonnya hidupku. Tak ingin aku sendirian. Tak ingin aku hidup dalam waktu yang konstan. Dan dia mengobrak-abrik waktu sendiriku dengan seduhan kopinya. Rasanya aku terhanyut.
            “Ini buat kakak,” katanya menyodorkan secangkir besar kopi mengepul. Aromanya sempurna.
            Dan tanpa sadar kami sudah berbincang hangat. Entah tentang apa. Aku telah lupa. Yang penting kami menikmatinya. Dan secangkir kopi itu kembali menerbangkan sang waktu. Kami harus beranjak pulang.
            “Kak.. aku pulang dulu ya,” teriaknya di depan pintu kantorku.
            “Iyaa.. kamu duluan aja. Kakak juga mau siap-siap pulang nih.”
            “Terima kasih untuk hari ini.”
            Aku terkesiap sempurna. Tidak yakin harus menjawab apa. Tapi senyumnya lagi-lagi menghanyutkan. Aku memilih untuk tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar