“Khayalan adalah sebuah bentuk
pelarian.”
“Apa?”
“Khayalan!!”
kata bosku Mira agak sedikit terlalu kasar dari yang dia maksudkan.
Aku hanya bisa memandangnya tak
mengerti.
“Waktu kau
menulis artikel ini. Apa yang kamu pikirkan? Artikel apaan ini? Siapa yang mau
membaca tulisan sampah ini. Salam.. bagi mereka yang terlupakan?”
“Tapi kak?”
“Nggak ada
tapi!! Kakak nggak suka. Ini sampah. Buat lagi. Ini nggak sesuai sama pembaca
kita.”
“Tapi ini jujur
kak, sesuai kenyataan,” kataku berusaha meyakinkan. Walaupun wajahku terlihat
datar. Tapi aku benar-benar berharap bosku menerima artikel itu.
“Terakhir kali
kamu bikin tulisan. Kaka suka. Sesuai pembaca kita. Kamu suka fakta rupanya.
Kenapa nggak gini aja. Kamu tulis tentang dua artis itu.”
“Artis?”
“Artis yang di
artikelmu itu. Cara fakta tentang mereka. Yang belum diketahui publik. Hmm…
mungkin hobi aneh mereka.”
“Hobi aneh?”
“Ya!! Siapa tahu
Ronaldo mengoleksi upil di lokernya. Atau Messi suka mengoleksi celana dalam
wanita. Itu lebih menarik.”
Ada jeda sejenak diantara kami. Aku jelas
mengerti apa yang dia katakan. Tapi kenapa ide seperti itu tak pernah terlintas
di otakku. Aku adalah anak baru di perusahaan majalah olah raga ini. Kak Mira
adalah seorang editor yang terkenal berhati dingin. Berkali-kali aku menulis
artikel, ini adalah artikelku yang paling buruk celaannya.
Di
perusahaan ini semua orang memanggilnya dengan namanya. Mira. Dia tidak suka
dipanggil Ibu atau Ibu Mira. Padahal dia atasan untuk beberapa orang anak buah.
Banyak yang bilang dia aneh. Tapi aku lebih suka memanggilnya kakak. Dan entah
kenapa dia tidak keberatan. Padahal aku hanyalah anak baru.
“Yudi?”
“Iya
kak?” jawabku kaget.
“Bisa?”
“Bisa
kak. Saya usahakan.”
“Lusa
udah harus jadi,” kata kak Mira dingin. Matanya memandang tanpa ampun dari
balik kacamata kotaknya. “Nggak usah nunjukin wajah melas gitu. Kakak nggak mau
tahu. Kamu harus serahin tulisan itu secepatnya,” katanya dengan wajah bosan.
Pandangan matanya seakan merendahkanku.
“Iya,”
kataku pasrah. Akhir dari pembicaraan kami. Dari mana aku harus mencari tema
tentang hobi aneh ini.
***
Mira. 17:00 WIB
Aku memandang keluar jendela.
Masih dengan pandangan yang sama, putus asa. Aku masih merasa belum akan
menemukan penyelesaian masalah itu hari ini. Akan ada seseorang yang membawa
jawabannya untukku. Akan ada saatnya, dan aku masih harus bersabar. Entah
meskipun aku sudah merasa bosan atau hampir mati tercekik karena kehabisan
nafas. Aku masih harus menunggu.
Tok
tok. Suara ketukan pintu.
“Masuk.”
“Mira..
ini artikel untuk bulan depan.”
“Oke,”
jawabku sambil tersenyum. “Harris, kamu lembur lagi?”
“Iya.”
“Pulang
aja sekarang. Temenin istrimu dirumah. Kehamilannya udah hampir waktunya kan?”
“Iyaa
Mir….kata dokter sih minggu-minggu ini.”
“Lalu
kenapa kamu masih disini. Istrimu membutuhkanmu.”
“Tapi
masih ada kerjaan yang belum selesai,” kata Harris tidak yakin.
“Biar
Yudi yang ngerjain.”
“Tapi
Mir—“
“Udah
sana pulang.”
Satu
jam kemudian aku telah menyelesaikan pekerjaanku. Tapi aku belum ingin pulang.
Dan hujanpun tiba-tiba mengguyur. Satu alasan lagi untuk mencegahku untuk
segera pulang. Semakin deras. Suara kerasnya merdu di telingaku. Kurasa aku
ingin menyeduh kopi.
“Hai
kak,” sapa Yudi di dekat meja kopi.
“Kamu
belum pulang?” tanyaku terkejut.
“Belum
nih kak,” jawabnya santai. “Kakak juga mau kopi?”
“Boleh.”
“Gula?”
“Pahit.
Terima kasih.”
Beberapa
jam kemudian. Sudah tidak ada alasan lagi bagiku untuk tetap berada di kantor.
Rupanya Yudi juga baru pulang. Terpaku aku di depan pintu keluar. Memandang
Yudi di kejauhan. Anak itu terlihat bersemangat, walaupun wajahnya selalu datar
cenderung muram. Hujan telah reda, namun masih tersisa rasa sejuknya. Yudi
menstarter skuternya.
“Kak…!”
sapa Yudi dari seberang parkir.
“Hai.”
“Kakak
juga mau pulang?”
“Iya.
Kamu hati-hati ya.”
“Siapp
bozz,” jawab Yudi ceria.
***
Keesokan harinya. Waktu berjalan
bagai terbang. Rasanya seperti belum mengerjakan apapun. Hari sudah beranjak
senja. Langit menggelap. Aku menjadi kalap. Belum siap untuk pulang. Mengelap
peluh dengan sapu tangan hitam.
Sebaiknya
aku mencari pekerjaan lain agar bayangan gelap itu segera menghilang. Atau
setidaknya menghilang dulu dari mataku.
Kopi.
Aku butuh bantuan kaffein untuk membuat otakku tetap terjaga. Seandainya
manusia tidak perlu tidur. Aku pasti akan memilih untuk tidak tidur. Tetap
terjaga dan melanjutkan hidup.
“Hai
kak….”
“Lagi-lagi
Yudi….” Kataku dengan keterkejutan yang sama seperti kemarin.
Isi
kantor sudah habis. Biasanya hanya tinggal aku. Yang memang semua orang tahu,
aku maniak kerja. Tapi sekarang sejak ada Yudi. Aku sering menemukannya di
dekat meja kopi. Menyeduh serbuk hitam pekat itu dengan air panas, wajah
konstan datar menghayati tiap adukan yang diayunkan oleh jemarinya.
Seakan
dia ingin mengusik monotonnya hidupku. Tak ingin aku sendirian. Tak ingin aku
hidup dalam waktu yang konstan. Dan dia mengobrak-abrik waktu sendiriku dengan
seduhan kopinya. Rasanya aku terhanyut.
“Ini
buat kakak,” katanya menyodorkan secangkir besar kopi mengepul. Aromanya sempurna.
Dan
tanpa sadar kami sudah berbincang hangat. Entah tentang apa. Aku telah lupa.
Yang penting kami menikmatinya. Dan secangkir kopi itu kembali menerbangkan
sang waktu. Kami harus beranjak pulang.
“Kak..
aku pulang dulu ya,” teriaknya di depan pintu kantorku.
“Iyaa..
kamu duluan aja. Kakak juga mau siap-siap pulang nih.”
“Terima
kasih untuk hari ini.”
Aku
terkesiap sempurna. Tidak yakin harus menjawab apa. Tapi senyumnya lagi-lagi
menghanyutkan. Aku memilih untuk tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar