Chapter 1 (part 6)
Hujan mengisi relung imajinasiku.
Membawaku hanyut dalam deru tetes air tak berkesudahan. Teringat masa
kanak-kanakku. Menggunakan daun pisang sebagai payung dan berlari-larian
bersama teman-teman sepulang sekolah. Menuju sungai di belakang sekolah. Melihat
orang memancing dan menjala ikan. Aku suka hujan, aku juga suka melihat sungai
yang beriak-riak.
Setelah
itu ibu akan mencariku dan mengajakku pulang. Dengan mata yang berkilat gusar,
ibu akan memarahiku. Untuk apa hujan-hujan deras seperti itu malah berkeliaran
di sungai, pikir ibu tidak mengerti. Tapi setelah itu ibu akan menyelimutiku
dan membuatkan susu hangat. Aku senang. Tak ada lagi kemarahan dimatanya.
Meskipun masih ada kecemasan tergambar di wajah ibu, tapi matanya selalu
bercahaya dan bersinar-sinar. Seperti sinar bulan dimalam hari. Begitu sendu
namun menghangatkan.
***
Hujan mengguyur sejak subuh tadi.
Aku masih malas-malasan dikasur dan memilih untuk melanjutkan mimpi yang
terpotong tadi. Dalam hati bertekad untuk tidak melakukan apapun seharian ini.
Tapi
mataku tak dapat terpejam kembali. Ada
bayangan Yudi tiba-tiba datang mengganggu. Bagai tamu tak diundang. Bayangan
itu mendominasi otakku. Teringat tentang kejadian kemarin. Saat dia memegang
dan menarik tanganku. Rasanya seakan dunia disekitarku berhenti, digantikan
oleh suara merdu sebuah lagu sendu.
Melihat
ke dalam matanya, aku merasa ditelanjangi. Menelanjangi kepalsuanku. Seakan
semua topeng yang kukenakan sebagai benteng kekuatanku runtuh. Menjadikanku
serupa anak kecil polos yang hanya sanggup menunjukkan kejujuran. Aku tak
sanggup jika harus berlama-lama menikmati mata sendunya.
Rrrr
rrr sebuah pesan masuk ke smartphoneku. Dari Yudi.
Kakak lagi apa?
Menghela nafas sejenak. Anak ini tahu saja kalau aku lagi
mikirin dia.
Nggak ada.
Main yuk.
Hah? Yudi ngajakin aku jalan?
Nggak salah? Batinku penasaran.
Kemana?
Kemana aja
Terserah kakak deh
Malas
Kamu ajakin temenmu aja
Hadehhhh
Ayo to kaaak…
Plissss
Hujan dek disini
Adek kehujanan nanti
Kakak malas keluar
Kalau gitu adek ke
kosan kakak sekarang
Serius?
Iyaaa..
Oke.
Rasanya
kedekatan kami agak terlalu aneh. Bagaimanapun juga dia adalah bawahanku. Aku
tak pernah sedekat ini dengan seseorang yang pernah bekerja denganku. Apa yang
seharusnya kulakukan padanya. Tapi meskipun begitu aku tak pernah berhasil
menjauh atau bahkan menjaga jarak dengan Yudi. Kurasa aku sudah sinting.
“Ini
buat kakak,” kata Yudi sambil menyerahkan bungkusan plastik ke arahku.
“Apaan
nih?”
“Buka
aja. Kakak belum sarapan kan?”
“Hmm…kamu
bawain kakak sarapan. Adek baik banget sih,” kataku malu-malu. Tidak tahu harus
bersikap bagaimana. Rasa-rasanya sikapnya terlalu baik padaku. Atau dia memang
aslinya baik pada semua orang.
“Malah
ngelamun,” kata Yudi sambil melangkah ke arah jendela. Memperhatikan hujan
diluar. Rambut dan kemejanya sedikit basah terkena hujan.
“Mau
kopi? Atau coklat panas?”
“Coklat
aja,” jawabnya acuh. Kini dia duduk di depan jendela kamar kosku sambil membaca
novel Supernova favoritku.
“Adek
udah sarapan?” tanyaku sambil menyodorkan coklat panas ke arahnya. Dia tengah khusyuk
menikmati tetes hujan.
Apa
yang dia pikirkan, batinku penasaran. Rambut lurusnya rapi terpotong pendek.
Rahangnya keras membentuk wajah yang kaku. Kalau dilihat-lihat Yudi lumayan
manis juga. Tapi jarang tersenyum.
“Dek!”
“Iya.”
“Bisa
senyum nggak?”
“Hiiiiii…”
“Hahahahha
itu meringis bukan senyum.”
“Hehehehe…
masa sih kak.”
“Adek
lebih cakep kalau banyak senyum.”
“Hahahahhaha…”
Tawa Yudi riang.
Aku
melihat cahaya di matanya. Cahaya yang telah lama tidak terlihat. Tanpa
kusadari telah menghangatkan hatiku. Dan aku tidak ingin kehilangan rasa hangat
yang menyehatkan hatiku ini.
Bukankah
malaikat terbuat dari cahaya. Dan saat aku melihat cahaya dimatanya. Lalu dia
itu sebenarnya apa, dia kah malaikat yang akan memberiku sebuah jawaban?